Tentang Blog
Semacam Alasan Kenapa Blog ini Dibuat
Barangkali jika harus kusebutkan
kegiatan apa yang paling kusukai, aku akan sebut: menulis. Sebab semua hal yang
ada dalam hidupku, pengalaman-pengalaman, bacaan-bacaan, pertemuan demi petemuan
semuanya bermuara dan aku memaksudkannya untuk kegiatan tersebut.
Kamu bisa merasakan sendiri
bagaimana aku bicara hal ini seolah-olah kegiatanku memang selalu menulis.
setiap hari. Tapi kenyataannya tidak. Dan untuk itulah pertanyaan selanjutnya
diperlukan, apa kegiatan yang paling saya benci? Jawabannya sama: menulis.
Seingatku, aku sudah menulis
sejak 2011. Aku menulis puisi, cerpen, dan lebih sering esai-esai (atau diary?)
personal yang biasa kau temukan di blog.
Hingga hari ini aku sudah berapa kali membuat dan menghapus blog,
mengumpulkan dan menghapus folder tulisan, juga berkali-kali. Tahun demi
tahunnya.
Kegiatan menulis ini benar-benar
tidak pernah bertambah mudah setiap harinya. Dia seperti binatang yang mustahil
dijinakkan. Atau jangan-jangan selama ini aku hanya salah memperlakukannya?
Imajinasi memang tidak punya
tepian. Semakin kau merasa dapat meraba tepiannya, semakin kau tahu kalau itu
bukan tepiannya. Tapi imajinasi itu akan tiba-tiba saja menyusut dan terasa
tepiannya ketika kau tahu ujung jari-jari tanganmu seperti baru saja diserang
kelumpuhan mendadak.
Menulis mungkin saja akan selalu
menjadi kegiatan yang menyenangkan, ucap Puthut suatu waktu. Tapi tak pernah
menjadi hal yang mudah. Dan dia kukira mewakili semua orang yang merasa menulis
adalah hal yang dicintai dan patut dibenci sekaligus.
Dari pertemuan dengan Puthut EA
ini pulalah gagasan blog yang khusus kubuat untuk cerpen saja ini bermula.
Pada akhir Agustus aku main ke Jogjakarta,
hadir di jambore Pembaca Mojok. Awalnya itu benar-benar pengalaman yang biasa
saja. Seperti semua orang datang dari tempat-tempat yang jauh, para pembicara
benar-benar membicarakan topik menarik, aku bertemu sahabat chattingku Romana, orang Surabaya—untuk tidak menyebutnya
sahabat-pena.
Tapi semuanya hampir tidak punya kesan
khusus. Maksudku semuanya baik-baik saja, acara itu luar biasa, hanya saja saya
merasa tidak ada yang membuat isi dada saya terbakar. Dan itu terasa seperti
ganjalan. Seolah-olah sebongkah batu baru saja mengganjal mesin blender ibumu.
Ngomong-ngomong hal semacam inilah yang tidak saya inginkan dalam bayangan
pulang saya nanti. Menempuh perjalanan Purwakarta-Jogjakarta atua sebaliknya semalaman.
Saya tidak bisa pulang dengan beban batin yang tidak tuntas.
Begitu acara bubar aku memutuskan
untuk tidak langsung pulang, atau sekedar pelesir menikmati Jogja malam hari
sebagaimana para peserta lain. Akubertahan di angkringan mojok, berbincang
beberapa peserta yang menunggu grab/gojek untuk mengantar mereka ke stasiun dan
terminal. Satu demi satu para penunggu jemputan pergi. Sore hari terus terasa
susut ke barat, dua gelas minuman hangat kandas, dan saya sama sekali belum memutuskan mau
melakukan apa. Harapan saya satu-satunya hanya ingin biaya saya ke Jogjakarta
ini terbayar kembali, saya tidak mau pulang dengan tangan kosong. Barangkali
bertemu dan berbincang dengan mas Puthut bisa ‘membayar’ saya kembali.
Begitu sekitar jam enaman, mas Puthut
masuk ke angkringan Mojok. Ia menyapa karyawan-karyawannya, kemudian entah apa
lagi. Sampai kulihat ia duduk dan di atas mejanya ada kopi hitam dan dua
bungkus rokok. Tak lama kemudian dua orang yang tadinya ngobrol denganku
langsung ikut meminta izin duduk di dekatnya, mengajaknya berbincang. Aku lupa
lagi siapa nama mereka berdua. Yang kuingat mereka penggemar Eka Kurniawan dari
Semarang.
Sisa satu teman yang aku pikir
lebih menarik, sebab selain ia guru bahasa Jepang, dan menyenangkan dan bisa
kuajak mengobrol soal karya-karya film dari Studio Gibli sampai ke sastra
Jepang seperti Naomi, karya Tanizaki Junichiro dan beberapa karya Haruki
Murakami. Dan plus ia hanya ingin dipanggil “Su”.
“Kayak, su, asu.. gitu mas?”
tanyaku. Dia tergelak. Kami masih mengobrol sampai kemudian dia mengingatkan
kalau, maksud aku tidak segera memesan jemputan adalah karena ingin mengobrol
dengan mas Puthut. Merasa diingatkan aku segara beranjak dan minta izin duduk
dan turut berbicang dengan mas Puthut dan dua penggemar Eka Kurniawan yang
antusias.
Perbincangn berjalan dengan
sangat menarik dan seru, dan perlahan-lahan saya dapatkan apa yang membakar di
dalam dada, pelan-pelan naik ke kepala dan siap meledakkan semua isinya.
Haissh. Pokoknya begitulah.
Jika harus dirangkum dalam satu
paragraf, kira-kira inilah yang dapat saya selamatkan dari ngatan daya yang
kualitasnya lebih renta daripada usia saya sendiri:
Menulis, itu sama seperti
pekerjaan lain. Ia menuntut ketekunan dan kerja keras. Ia meminta porsi latihan
sebagaimana profesi-profesi lain. Jika kau ingin menjadi penulis. Yang perlu
kau lakukan hanyalah berlatih menulis. Dudukkan pantatmu, tentukan targetmu,
dan menulislah sampai selesai. Tidak ada alasan lain. Jangan mentang-mentang
menulis itu pekerjaan kreatif, lalu kau beralasan menunda-nuda pekerjaan hanya
karena kamu merasa perlu mendapatkan ilham atau semacamnya. Itu omong kosong.
Dan untuk konkretnya inilah yang
perlu aku lakukan, katanya. Tentukan target harianmu yang konkret, misalnya
satu hari kau menulis satu cerpen 2000 kata. Lakukan itu selama dua bulan. Dan
rasakan sendiri bagaimana efeknya setelah dua bulan itu kamu memaksa dirimu
setiap hari menuntaskan cerpen demi cerpen dalam 2000 kata perharinya!
Saya bertanya bagaimana jika itu
esai saja? Ia menggeleng. Cerpen tidak akan memaksamu riset lebih banyak.
Cerepn jauh lebih mudah untuk di awal.
Bagaimana jika aku, karena
beberapa alasan melewatkan satu atau beberapa hari tanpa satu cerpen 2000 kata
itu? Ia menyarankan agar aku mulai membuat komitmen pada diri sendiri, dengan
menerapkan reward/punishment. Misalnya jika satu hari membolos, maka aku perlu menambah masa latihanku tiga
hari di luar dua bulan tersbut, untuk satu hari membolosku. Dan untuk hadiah,
ya terserah. Setiap seminggu aku bisa menyelesaikan 7 cerpen aku akan bawa
diriku jalan-jalan ke mana misalnya.
Maka inilah hasilnya, selama
Oktober-November. Harusnya sudah ada 60 cerpen di sini, sebagian sengaja
kutahan di folder, sebagian lain aku kirim ke media dan aku musti menunggu
beberapa waktu untuk memastikan cerpen-cerpen tersebut ditolak. Ngomong-ngomong
inilah salah satu sebabnya aku sebenarnya membenci kegiatan ini sejak lama
sekali.
Beberapa cerpen ini memang masih
mentah. Selain ditulis dalam sehari, dan target 2000 karakter perhari tersebut,
sisanya memang aku punya mata yang kurang jeli untuk mengoreksi salah ketik dan
semacamnya. Jika kau tidak nyaman membacanya, aku bisa mengerti.
Aniway. Selamat menikmati.
Komentar
Posting Komentar