Seekor Kura-kura yang Keterlaluan Bijaksananya Sedang Berjalan ke Arahku dari Tempat yang Sangat Jauh

Orang-orang hidup dengan macam-macam wajah. Kukira semua orang yang berada di rumah sakit akan menampilkan wajah serupa: wajah-wajah yang panik dan cemas. Aku salah sepertinya. 

Beberapa di antara mereka memang ada yang merasa seperti sedang berjalan di tempat yang sangat dikenal. Beberapa yang lain seperti duduk di kursi yang begitu panas, sehingga kerap berdiri tiba-tiba, berjalan mondar mandir, sambil mengepalkan tangan, kemudian duduk sebentar untuk berdiri lagi dan melakukan perilaku yang sama. Ada juga yang melongo saja, seolah-olah semua harapan dalam dirinya baru saja dicopet orang di tengah-tengah keramaian. Ada juga yang kukira berusaha tetap kokoh dan menopang orang-orang di sekitarnya, menyodorkan air minum atau makanan-makanan kecil, dll. Ya ampun mereka sangat bermacam-macam.

Tapi semua gerak teatrikal yang kuperhatikan tidak jauh berbeda dari film dengan alur sangat lambat dan plot-plot yang tidak begitu mengejutkan. Sehingga jika kau sedang menontonnya di bioskop kau bisa keluar dari atrium untuk berak atau memesan camilan tambahan, tanpa khawatir akan ketinggalan cerita film tersebut. Dan yang jauh lebih tai kuda dari itu kamu tetap terpaksa harus menonton semua isi film ini. Di bioskop kamu memang bisa memilih keluar atau memilih tidur saja di kursinya yang nyaman. Tapi aku tidak yakin bakal bisa tidur di kursi logam yang dingin begini. Di tengah hilir mudik orang yang panic, di antara yang pura-pura panic, dan yang tidak meresakan apa-apa sepertiku.

“Sudah tidak ada?”

Sebelumnya aku hanya mendengar cara bertanya seperti ini dalam film-film, tapi di sinetron-sinetron, biasanya adegan seperti ini akan nampak jauh lebih buruk lagi. Dengan tambahan kamera extra close up ke arah wajah si pemeran, membuat kontur wajahnya terlihat ganjil. Terlalu putih, sehingga kau bakal mengira ia sedang sakit, atau lebih buruk dan mungkin saja filosofis, ia sedang tidak dengan wajahnya sendiri yang asli.

Bicara soal orang-orang yang tidak memakai wajahnya sendiri, kau bakal mudah menemukannya di banyak tempat. Tapi yang memberikanmu banyak waktu untuk lebih memperhatikan—sehingga akan memudahkanmu jika kau berniat mencatatnya untuk bekal suatu karangan— rumah sakit adalah tempat yang tepat.

**

Putra pak Subarjo yang paling bungsu, ya?

Aku mangangguk, dan orang yang tak kukenal ini mulai membentangkan setengah tangannya seperti berusaha merangkul sesuatu di belakangku. Aku harus berdiri, membalas pelukannya agar ia tidak merasa sedang memeluk patung yang ukurannya lebih pendek darinya.

Kami berpelukan dan dia mulai mengucapkan sejienis mantra yang isinya tak jauh berbeda dari sebelum-sebelumnya, bahwa semuanya adalah ujian, jika bersabar aku akan dapatkan yang lebih baik.

Ikhlaskan. Dia pasti berada di tempat yang paling damai. Bersama orang-orang baik lainnya. Tutupnya. Kemudian ia melepas pelukan kami dan memijat bagian pangkal hidungnya yang pesek. Seperti ada yang sedang dia tahan, atau berusaha ia lepas dari matanya.

Apa yang lucu dari acara kematian adalah, sebisa mungkin orang-orang akan menghindari kata mati itu sendiri. Dan tiba-tiba saja mereka mendadak menjadi penyair, mereka menjadi sangat pandai memberikan sayap pada kalimat-kalimat yang terlontar. Lalu orang asing ini melepaskan pelukan, dan kembali pada kumpulan-kumpulan lain di luar ruang operasi.

**

Perempuan itu takut pada si pria yang pendiam. Ketika ia terbangun di malam hari dekat pria pendiam itu, ia mendapat kesan seakan dia dilupakan di sebuah pantai pasir yang sunyi.

“Peluklah aku” katanya.

…ketika berbaring melintang di dada itu ia merasakan napas laki-laki itu naik dan turun seperti ombak, dan terasa seperti ketakutan dalam pelayaran. Bila telinganya dia tempelkan pada tubuh itu, dia mendengar degup jantungnya yang keras, mesin yang sedang bekerja dan hantaman alat penghanncur.

…dan kebisuan ini, ketika perempuan itu mengucapkan sepatah kata yang merenggutnya dari mimpinya. Ia menghitung detik-detik antara kata itu dan jawabannya seperti menanti badai—satu, dua, tiga.

Aku mengutipnya dari Pesawat Pos Selatan karya Antoine de Saint-Exupery. Sependek sejarah membacaku novel ini adalah jenis novel yang paling lambat jalan ceritanya, namun tetap mengagumkan untuk dikutip ulang. Jika kau tak punya banyak waktu sebagaimana mereka yang terpaksa harus berada di ruang tunggu rumah sakit berminggu-minggu, kau akan membakar isi  buku ini dan kembali pada sinetron, kotak cahaya yang dipenuhi orang-orang dengan wajah seperti orang sakit.

Aku mencurigai motif  sang pilot yang menulis Pesawat Pos Selatan ini. Sejak awal sepertinya ia memang memaksdukan buku ini untuk menjadi puisi yang amat panjang—atau mungkin novel puitis, dengan timbangan yang terlampau berat ke puisi, sehingga kau perlu bertanya lebih serius dan meminta kritkus sastra untuk mempertimbangkan genre puisi yang baru: puisi bernafas prosa panjang, ataui semacamnya yang lebih sederhana dalam istilah maupun penyebutannya. Asal tidak membuat mahasiswa sastra kebingungan. Kasihan mereka.

Alih-alih memperhatikan waktu, plot-plot ceritanya justru dibangun oleh emosi setiap karakternya. Sulit menduga kapan dan di mana latar suatu plot sedang berlangsung. Apakah waktu, di novel ini tidak punya andil sama sekali? Dan pembaca hanya dibiarkan menentukan sendiri untuk mengurai bola wol kusut dalam tumpukan plot yang seperti kubilang: dibangun dari emosi-emosi dan gelagat pikiran para karakternya.

**

Sejak lama sekali aku ingin keluar sebentar. Sekaranglah saat yang tepat. Tidak ada gunanya menunggui orang yang sudah tidak ada. Teater rumah sakit ini juga sudah mulai membosankan dan aku sudah tidak sanggup lagi mendengarkan hal-hal yang barangkali dimaksudkan puitis, namun malah menjadi kehilangan daya puitisnya karena banyak diulang-ulang.

Sepanjang lorong rumah sakit ini, kukira berjalan begini setiap hari. Tidak ada hari libur, setiap hari orang berurusan dengan nasibnya sendiri, kekecewaan, sakit, dan kematian, sementara yang lain berusaha hidup lebih panjang dengan mengelola nasib-nasib buruk orang lain. Tidak ada yang salah, semua orang adalah mesin yang musti bekerja dengan jenis dan maksud diciptakannya.

Aku keluar dan hawa panas siang hari masih tersisa, pukul lima sore hari. Lampu-lampu di jalan sudah mempersiapkan diri, menyala di bawah matahari yang terus susut detik ke detik, para pemotor saling menyelip dan mobil-mobil besar yang sama lelahnya beradu klakson mengusir gusar dri dada mereka, setiap hari pasti sep[erti ini mesin-mesin yang bekerja sebagaimana tujuannya diciptakan. Sama sekali bukan hal yang ajaib, atau malah ajaib?

Sepanjang trotoar orang-orang mulai membuka penghidupannya, di saat yang lain sedang berupaya kembali pulang, mengistirahatkan mesin dalam tubuhnya. Bergantian.

Sudah hampir seharian aku tidak merokok, kupikir ada baiknya jika menyalakan sebatang saja. Sekadar membuatku merasa lebih sehat. Bau rumah sakit yang konsisten mencitrakan dirinya bersih dan aman kukira malah membuatku merasa seperti orang sakit.

Kota-kota yang selalu sibuk dan mengepulkan asap. Hal yang mustahil dapat dilihat siapapun di masa-masa yang jauh lampau, masa-masa di mana orang percaya bahwa satu-satunya yang dapat menjelajahi jalur udara di angkasa hanyalah burung-burung dan kelelawar.

Boleh minta api, A?

Suara perempuan. Aku melihatnya sekilas, wajahnya mengingatkanku pada orang-orang dalam kotak kaca, tapi aku yakin dia tidak sakit. Aku sodorkan korek apiku.

Mangga.

Dia menyalakan rokoknya sendiri. Lalu menghemnbuskan asapnya, bau menthol. Perempuan sedang menghembuskan asap rokok… indah juga. Kukira hanya saat mengikat rambutnya saja mereka akan tampak sangat indah.

Pulang kerja, A?

Dia pasti tidak memperhatikan semua yang sedang kupakai. Aku sama sekali tidak menggunakan sepatu, atau seragam orang yang akan berangkat kerja shift malam. Aku bahkan tidak memakai jaket. Aku melihat ke arahnya, ia menunggu jawabanku, astaga apakah aku mendiamkannya terlalu lama? Atau aku tadi hanya menggeleng seperti orang tolol saja?

Oh, tidak, teh. Dari rumah sakit depan.

Tapi, Aa kelihatan sehat kok.

Bapak saya yang sakit.

Sakit apa?

Sakit yang tidak ada obatnya.

Oh…

Aku merasa tidak enak karena membuat rasa penasarannya pupus begitu saja. Untuk pertama kali dalam seharian ini aku tiba-tiba merasa ingin mengobrol, bukan diceramahi soal kesabaran saja.

Mati. Kataku menambahkan.

Dia refleks tergelak. Kemudian sadar bahwa tertawa di saat seperti sangatlah tidak dibenarkan. Aku juga malah menjadi merasa tidak enak, sebab kenyataan orang yang kukabarkan sudah tidak ada membuat keinginannya untuk tertawa musti ditahan. Seperti mencegah orang lain untuk menikmati komedi yang bagus.

Oh ya Allah… maaf ya A. Innalillahi—

Gak apa-apa kok teh. Ketawa juga gak dilarang agama.

Dia tergelak lalu tersenyum. Dan dengan gerakan yang tidak ragu-ragu menarik kursi di seberangku, sambil meletakkan tas, rokok, dan korek yang dia pinjam dariku, seolah-olah korek itu sudah sepaket dengan sebungkus rokok miliknya. Bicara soal korek yang entah bagaimana cara kepergiannya, aku mulai melihat tanda-tanda bakal kehilang lagi.

Kamu lucu… eh tunggu di sini ya. Aku mau beli minuman. Kamu mau?

Aku belum sempat menggeleng atau mengatakan tidak usah tap ia keburu pergi dan masuk ke dalam. Lalu keluar membawa sebungkus rokok yang sama dengan milikku, dua bungkus snack, dan dua botol air mineral.

Kamu pasti bosan mendengar orang-orang mengatakan hal seperti itu seharian ini, kan?
Aku mengangguk.

Ini buat orang yang sedang berduka, sekaligus minta maafku.  

Zakaria, putusku. Lalu kusodorkan tangan, maksudku berkenalan. Aku tidak ingat lagi dari mana keberanian seperti ini datangnya. Tapi kupikir akan lebih baik jika kami saling mengenal.

Dia menyambut tanganku. Tersenyum dan menyebutkan namanya: Duka.

Serius?

Yang ditanya hanya mengangguk. Lalu mengambil posisi duduk dan meneguk isi botolnya.

Bapakku juga sudah mati—belum selesai kalimatnya dia tertawa, hampir tidak percaya jika ia sengaja menggunakan kata ‘mati’ sepertiku tadi. Aku juga ikut tertawa.

**

Ini bukan pertama kalinya waktu terasa lambat dan seperti neraka. Satu hari di neraka, setara seribu tahun di dunia, kata ustadku. Dan aku tidak melihat apa ngerinya saat itu. Tapi sekarang aku tahu apa itu neraka dan bagaimana waktu dunia bisa serupa neraka. Satu hari di sini, serasa seribu hari di tempat lain.

Mulanya memang kau bisa melakukan hal-hal tertentu agar kau lupa bahwa menunggu bukanlah perkara yang special, atau bisa dimaknai secara berlebihan. Tapi waktu  nyatanya bisa lebih tangguh dari semua yang mungkin dilakukan manusia untuk membunuhnya. “Membunuh waktu” kata kita, aih betapa lucunya frasa ini kedengarannya.

Aku ingat pertama kali—jika ingatanku tidak separah yang kuduga—merasakan waktu terasa sangat lambat. Terlalu lambat sehinga detik ke detiknya hanya menambah terror dalam diriku. Kau tahu, saat kau sedang ketakutan kau bakal berharap jantungmu berhenti saja. Karena setelah semua usaha untuk tidak mengeluarkan suara, atau menahan-nahan napas, kesunyian malah terasa lebih luas, kau menutup mata tapi kesunyian itu sendiri serupa sahara, padang pasir kering sejauh mata memandang dan telinga mendengar. Kau dengar suara jantungmu sendiri yang berdegup konstan, secara perlahan ia mendentam kencang, seolah telingamu sedang berada di depan dadamu sendiri. Mesin yang dikutuk bekerja selamanya dengan pekerja-pekerja yang selalu hatinya selalu penuh kecemasan.

Seperti setiap waktu di semua tempat ini, di saat ini, di momen ini yang membuatmu tidak tahu musti untuk merasakan apa. Membuatku menerka-nerka apakah hidup bisa lebih tidak berarti lagi?
Waktu adalah seekor kura-kura tua yang keterlaluan bijaksannya, sedang berangkat ke arahmu dari tempat yang amat jauh. Hanya itu yang kamu tahu.

**

Kamu pasti sayang sama almarhum bapakmu.

Aku gak tahu. Kalau cinta itu maksudnya aku tak berani menolak perintahnya sebab ia yang membiayai semua urusanbku saat anak-anak sampai sekarang, mungkin aku memang saying sama dia. Kamu sendiri benci almarhum bapakmu?

Ya.

Kamu senang begitu dia mati?

Tidak. Aku masih sedih sampai sekarang, kalau aku ingat-inngat hari dia mati. Rasanya aku menyesal sekali. Sebab waktu itu aku sama tidak merasakan apa-apa. Apalagi menangis. Aku ingin sekali ke masa dia baru saja mati, lalu menangis seperti orang-orang lain saat kehilangan sesuatu yang berharga.

Kamu aneh juga.

Iya. Kamu juga aneh. Eh, kayaknya kita cocok deh.

Apakah kita akan menikah setelah ini?

Kami tergelak dan tertawa. Karena lelucon ini benar-benar sangat tidak lucu, tapi juga sangat lucu di saat yang sama.

Dia merogoh tasnya dan mengeluarkan sapu tangan, menghapus yang ambrol dari matanya yang sembap dan mengeluh maskaraku pasti rusak.

Sori, aku merasa tidak enak sebab membuatnya bicara seperti itu.

Oh nggak apa-apa. Kukira awalnya kamu anak-anak muda seperti kebanyakan. Dan aku gak 
kepikiran bakal duduk di sini sambil menunggu jemputan.

Ke tempat kerja?

Yep dia mengangguk sambil membuka cermin riasnya. Oh kupikir maskaranya rusak. Ia membuat gerakan-gerakan kecil menyapukan tissue di sekitar matanya.

Seorang pemotor masuk ke parkiran. Ia mengangkat tangannya, memberitahukan keberadaannya pada si pemotor. Sebagai balasan si premotor membuka kaca helmnya dan mengangkat tangan seperti bilang oi!

Wah sayang sekali. Kamu pasti perlu teman. Aku tidak enak kalau musti pergi sekarang.

Ia menutup cermin riasnya dan mengangkat kedua alisnya sebagai ungkapan merasa bersalah dan tidak enak ke arahku. Matanya hitam pekat, sejak tadi aku luput memperhatikannya. Apa itu soft lens? Ah bodo amat.

Ah santai aja teh—

Gak, panggil aku Duka saja, okey. Nih aku kasih kartu namaku yaa… kali aja kamu perlu teman bicara. Aku berangkat dulu yaa..

Okey, hati-hati. Ucapku membalas.

Begitu si pemotor pergi membonceng perempuan itu, aku membaca kartu namanya: Duka Abadi, lalu jabatan Head Marketing dan alas an mengapa tadi dia menyempatkan duduk mengobrol deopanku dapat kubaca dia tagline di bawah logo perusahaan Raih kesuksesan finansial dan kesehatan bersama kami. Dahsyat!

Lampu-lampu semakin menunjukkan wajahnya. Hari mulai gelap, tidak ada yang spesial soa itu. Aku teringat lagi dengan seekor kura-kura yang keterlaluan bijaksananya sedang berjalan ke arahku dari tempat yang sangat jauh. Hanya itu yang aku tahu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Strategi Menulis yang Menyesatkan

Sisi Lain Kota P