Strategi Menulis yang Menyesatkan



Dia menyebutnya startegi tiga kata. Gunakan tiga kata untuk memicu sebuah cerita. Tiga kata itu bebas, ia bisa kata dari benda-benda yang sedang berada di depanmu, bisa juga kata-kata yang selalu kau pikirkan, atau baru saja terlintas di kepalamu begitu saja, bisa juga nama seseorang yang menuntut ingatanmu selalu bekerja. Lalu tuliskan kata tersebut, dan buatlah cerita yang kira-kira akan menyertakan tiga kata tersebut. Selanjutnya biarkan semuanya menuntunmu pada aih bagaimana aku menyebutnya, hmm… mungkin sebuah petualangan bercerita?
 
Mari kita mulai dari tiga kata benda pertama yang tiba-tiba saja sedang dia lihat di sekelilingny. Ada banyak kata, tapi dia kira memberi cerita di balik benda-benda yang sedang diihatnya akan menjadi tantangan yang seru.

Kacamata, Kursi, dan Vas bunga.  

Itulah tiga kata yang kita punya. Sekarang, mari kita rangkai ceritanya.

Dia datang ke tempat itu, sebuah aula besar, dan memastikan apakah dia sudah sampai di tempat yang tepat. Jika kau sedang ingin menghadiri sebuah acara sendirian, kukira ini adalah hal yang normal dilakukan. Mengawasi sekitar hanya untuk sekadar mengusir rasa sungkan. Hal pertama yang wajar kau lakukan tentu saja memperhatikan apakah kau sudah datang ke tempat yang sesuai dengan tujuanmu. Dan begitulah yang dilakukan tokoh utama kita ini. Datang ke sebuah temapt, dan memastikan apakah ia memang berada di tempat yang seharusnya ia berada.

Kursi-kursi telah ditata rapi, ia melihat banner-banner dan flyer dengan tulisan yang membuatnya merasa yakin ia sudah di tempat yang tepat. Ia merasa lega, perasaan yang ia hadirkan untuk melupakan betapa ia tak kenal siapapun di sini, dan memikirkan bahwa tidak tersasar akan memberikannya ilusi betapa ia beruntung. Dan kesialan tidak sedikitpun sedang menyentuhnya, atau minimal telah ia lupakan dan menggantinya dengan perasaan lega.

Perasaan lega itu nampaknya hanya menghiburnya sebentar, ia merasa perlu meyakinkan dirinya sekali lagi, setidaknya sampai acara benar-benar dimulai dan dia tak perlu merisaukan satu-satunya hal yang tidak ia inginkan: tak ada siapapun yang ia kenal di sini. Ia melihat kea rah di mana seharusnya banner besar sebuah acara di pasang.

Ia mulai memicingkan mata, dengan begitu berharap apa yang terpampang di spanduk itu semakin jelas baginya. Hal yang dilakukan banyak orang ketika pandangan mereka terasa kabur. Dengan cara itu beberapa mungkin bisa menjadikan matanya seperti sebuah teropong dengan daya jelajah yang umayan. Tapi tidak bagi orang yang memiliki mata minus lima di kanan, dan ilinder di kiri.
Astaga, aku tak membawanya ujar si karakter utama ini, menyadari dirinya yang memerlukan kacamata ternyata tidak membawa satu-satunya benda yang ia perlukan selain ingatannya yang luar biasa menyedihkan.

(Hei, bukankah kita baru saja menemukan kata pertama: kacamata).  

Sadar bahwa upayanya menjadikan sepasang matanya sebagai teropong yang payah itu tidak menghasilkan apa-apa, ia pun merasa perlu berjalan mendekat. Melewati kursi-kursi yang tertata rapi, mengabaikan beberapa orang-orang yang berseragam; sepertinya panitia acara, terus berjalan ke depan. Sebenarnya ia tidak perlu melakukan ini hanya untuk memastikan apakah ia sedang berada di tempat yang tepat atau malah tersesat di sebuah acara yang sama sekali tidak ingin dihadirinya. Meski ia pernah mengalaminya sekali, dan itu sudah lama sekali terjadi.

Harusnya aku tidak begadang semalam, harusnya akutidak menginap di kamar kos temanku, bangun lebih pagi dan mendaftar apa saja yang musti kubawa pergi sebelum keluar dari pintu kosnya.
Ia menyesali banyak hal meskipun ia tak perlu melakukannya, sebab ia sama sekali tidak datang terlambat. Ia tepat waktu, sebegaimana yang tertera dalam poster acara; yang mana bagi banyak orang itu tetap berarti datang terlampau pagi. Tapi dia tetap perlu memikirkan ini untuk melupakan kerikuhannya sendiri.

Ia sampai di jajaran kursi pertama, tentu saja kursi itu kosong. Ia lihat banner utama, yang dengannya ia dapat memastikan dugaan pertamanya, bahwa ia sudah berada di tempat yang tepat. Dia semakin yakin. Lalu memutar pandangannya dari arah deretan kursi peserta yang pertama, aku mustahil duduk di depan.

Dua bulan yang lalu, dia pernah membaca wawancara si penulis di sebuah media daring, wawancara itu begitu mengesankan baginya, sehingga ia entah bagiamana merasa ingin menjadi penulis. Meski begitu ia tetap tidak tertarik membeli karya-karya si penulis.

Jika aku sudah masuk dalam dunia yang sama. Antara aku dan dia adalah setara belaka. Aku tidak perlu mendatanginya untuk meminta tanda tangan atau berfoto bersama. Sebab kami sudah setara.

Dia dan ingatannya yang payah hanya dapat mengingat dua hal dengan pasti dari wawancara itu. Pertama, buatlah sekolah menulis untuk dirimu sendiri, dan kedua, adalah strategi tiga kata untuk memicu bahan menulis. Ia melakukan dua hal itu selama dua bulan ini, namun ini adalah saat teoat yang untuk mengatakan sesuatu selain bertanya kenapa dua hal itu hanya menghasilkan enam puluh cerpen yang kualitasnya setara dengan tai kuda. Dan ia benar-benar akan mengatakan tai-kuda di depan pelantang saat sesi bertanya nanti.

Memang di deretan kursi  depan seperti ini ia tak memerlukan kacamata. Dati tempat ini adapat melihat lebih jelas melihat penulis favoritnya. Ia bahkan dapat menghitng berapa jumlah kuncup bunga plastik dalam dua vas bunga yang menghiasi dekorasi panggung depan. Di tempat duduk seperti ini pula sudah pasti ia akan mendengar lebih jelas, kualitas pelantang suara di depan pastilah lebih bagus, di banding deretan kursi paling belakang.

(Kita sudah dapatkan kata kedua dan ketiga , atau lebih tepatnya sebuah paragraph baru saja menemukan kata keduanya: kursi dan vas bunga)

Tapi, aku mustahil duduk di depan, sepertinya aku masih memerlukan kacamataku, agar aku tidak perlu duduk di depan dan masih dapat kuhitung berapa jumlah kuncup bunga plastic merah yang ada di sepasang kursi di depan.

Aku harus kembali ke kos temanku, jika kuperkirakan dengan kebiasaan orang-orang menghadiiri acara, semua kursi ini akan terisi setengahnya setidaknya lebih dari setengah jam lagi. Aku akan dapat tempat di tengah. Tidak terlalu di depan,sehingga aku tidak peru khawatir merasa jadi pusat perhatian. Tidak juga terlalu belakang dan membuatku mengeluhkan kualitas suara di pelantang suara. Oh ya… membuat kemungkinanku untuk mendapatkan giliran bertanya semakin kecil.

**

Dia bangun dan segera mandi, sementara orang-orang di kosan itu masih pulas dengan urusannya masing-masing. Ia segera mandi lalu menjerang air panas, sambil menunggu ia membuka laptopnya, memperhatikan beberapa hal dan berusaha menulis dari sana, siang ini aku bakal banyak acara, aku mustahil menyelesaikan target 2000 kata sore ini.

Sangkar burung yang menggantung di halaman kecil depan kos temanmu; kaus kaki olahraga berwarna merah dengan aksen dua strip putih milik temanmu yang suka menginap di kosan tersebut tanpa punya perasaan wajib membayar iuran atau membersihkan piring-piring yang baru saja dia pakai; dan undangan pernikahan dari seseorang yang pernah sangat dekat denganmu ketika kau masih duduk di bangku sekolah.

Aku bisa memulai dari semua tiga benda yang kini ada di depanku, semua benda tersebut tampak biasa saja di awal, juga bukanlah bagian paling mencolok, kecuali undangan berwarna hijau yang kini tertumpuk dengan sampah lainnya. Awalnya sampah tersebut berada di dalam tong sampah setelah pemilik kaos kaki merah, pertama kalinya sadar bahwa sesekali ia harus membersihkan tempat ini, namun kucing-kucing yang akan selalu menyebalkan di manapun mereka berada, menelungkupkan dan mengacak-acak isi tong sampah tersebut. Kini sampah-sampah itu keluar sebagian dari tempatnya. Dan begitulah aku pertama kali sadar bahwa benda itu menarik untuk dijadikan salah satu bagian dari strategi tiga benda, selain kaos kaki olahraga berwarna merah, dan tiga sangkar burung yang baru saja berada di sana sekitar dua bulan yang lalu.

Tiga sangkar burung yang baru saja berada di sana sejak sekitar dua bulan yang lalu. Dua sangkar berisi kenari berwarna kuning keemasan, dan coklat dengan aksen kuning emas juga. Sangkar sisanya berisi love bird berwarna hijau menyala dengan campuran kuning terang dan hijau muda yang lembut.

Dia beberapa kali mendengar atau membaca cerita yang melibatkan burung-burung. Selian burung hud-hud di masa Nabi Sulaiman dan burung Ababil di masa kelahiran Nabi Muhammad, ia membaca kisah burung laying-layang dari dongeng yang ditulis Oscar Wilde. Tapi cerita-cerita itu dia pikir tidak dapat menjadi bahan cerita yang terhubung dengan tiga sangkar burung yang mengantung di kos temannya ini.

Burung-burung di masa itu pastilah seperti satu-satunya harapan yang dapat kita nikmati dengan mudah di hari ini. Dalam kasus nabi Sulaiman, burung-burung ini adalah perwujudan dari informasi cepat, di masa tahun Gajah merupakan pertolongan ajaib, dan dalam dongeng Oscar Wilde adalah akses bantuan atau semacamnya.

Sekarang ketika teknologi mengarungi udara dapat dikuasai manusia, burung-burung itu nampaknya tidak lebih berguna dari sekadar pemutar musik organic, istilah yang aneh malahan.

Burung-burung ini berguna bagiku untuk mendeteksi aura-aura dan keberadaan makhluk gaib, jawab temanmu suatu ketika. Sesekali juga menjadi obat stress. Kau mengangguk, menampilkam gestur wajah baiklah aku mengerti maksudmu, menjadi dukun membuatmu stress luar biasa, lalu kau memelihara tiga ekor burung.

Kini si pemilik masih terbaring tidur dan dia tidak mungkin menggantikan pekerjaannya untuk memandikan burung, membersihkan kandang dan hal-hal lain yang tampaknya agak merepotkan.
Mengurus diri sendiri saja aku sering kerepotan begitu ia membatin. Jika seseorang memberiku burung begini, lebih baik kulepas ke hutan atau apalah… lalu kandangnya akan kuberikan pada temanku agar ia menjadikannya sesuatu yang lain asal bukan yang membuat makhluk kecil bercuit-cuit seperti orang menyanyi nyaring di kamar mandi karena merasa kesepian.

Setelah pikirannya selesai berurusan dengan burung, tak jauh dari kandang-kandang tersebut, di gantungan ia lihat hal yang menurutnya menarik kaus kaki olahraga yang panjang dan berwarna merah dengan aksen dua strip putih milik temannya yang juga suka menginap di kosan tersebut; tapi tanpa pernah punya perasaan wajib membayar iuran atau bahakn melakukan hal-hal berguna, mengingat dirinya terlal sering menumoang; inimal membersihkan piring-piring yang baru saja dia pakai atau apalah…

Tak jauh dari jemuran itu ada tong sampah yang tumpah. Satu hal yang menarik hatinya, kertas hijau yang tampak tebal dan berusaha keras menahan bentuk lipatannya di antara sampah-sampah lain yang menghimpit dan sepertinya sangat ingin mengubah bentuknya yang terlipat menjadi kertas yang ringsek, selayaknya sampah pada umumnya. Undangan itu, seperti juga nama seseorang yang ada di dalamnya, pusat kenangan yang terus-terusan mencoba menjadi tugu-tugu atau patung-patung dalam kota ingatannya. Bersikeras menjadi sesuatu yang tabah di antara deraan keinginan melupakan.
Dia merasa sudah membuangnya tiga hari yang lalu. Itu waktu yang cukup untuk menjadikan sampah kertas kehilangan bentuknya. Tapi melihat bentuk undangan itu, seolah-olah undangan itu baru saja diletakkan seseorang di sana.

Dia ingat sekali, hari inilah hari itu. Dan untuk itulah mengapa ia ingin sekali pergi ke tempat lain, tempat itu bisa apa saja asal bukan sebuah jamuan pernikahan seseorang yang bahkan nantinya hanya akan membuatnya merasa diingatkan: betapa semua hal telah berlalu dan menjadi sesuatu, meninggalkan dirinya terus menerus.

**

“Besok kamu datang, kan?”

“Wah, maaf aku udah ada acara besok. Janjinya udah lama malah.”

“Tuh, kan. Kamu marah…”

“Loh? Enggak kok. Aku marah soal apa memangnya?”

“Ya kata yang lain, kamu kesal, karena tahu nikahanku dari orang lain duluan. Kan aku udah jelasin alasannya sejak kemarin. Kami berdua benar-benar sibuk sekali mempersiapkan hajatan besok. L

“Hahaha, aku tahu kok kamu sibuk. Itu mah anak-anak aja yang suka ngada-ngada. Kamu kan tahu sendiri kelakuan mereka.”

“Oke deh. Tapi kamu serius gak bisa datang?”

“Aih, jangan sedih gitulah. Aku sudah titipkan kadonya ke anak-anak kok.”

“Bukan soal kadonya. Kamu datang saja, aku senang.”

“Oke deh. Aku pikir-pikir dulu. Btw, apa makanan favoritku ada?”

“Oalah, ini soal makanan toh. Beneran loh ya... kalau aku adain kamu musti datang loh ya?”

“Jadi enggak ada, kan? Hehe”

“Ya bisa aku adain, kalau syarat kamu datang cuma itu.”

“Haha gak perlu repot-repot. Kan aku sudah bilang tadi, besok itu aku ada acara …”

Lalu centang dua, dia sudah membaca pesan terkahirku, aku berkali-kali lihat  typing… tapi aku tak membaca apapun yang ia ketik. Berkali-kali seperti itu, dia pasti berpikir keras akan membalas apa. Aku merasa menungggu terlalu lama dan mulai bosan, menyalakan mode suara dan meletakkan handphon di sisi kepalaku.

Masing-masing orang sibuk dengan gadgetnya di sini. Tempat ini selalu menjadi persinggahan pertama untuk mereka yang merasa jenuh di rumah, atau sekadar ingin dapat bebas merokok sambil menghindari amarah orang tuanya. Atau hanya mengusir kesepian sesekal, seperti aku.

Langit-langit kos ini dibuat dari anyaman bamboo, kupikir bakal keren sekali jika malam ini roboh, menimpa semua orang yang sedang sibuk dengan gadgetnya. Sepertinya bakal seru sekali mendengar mereka yang tadinya tampak sepi tiba-tiba berteriak panik.

Tiba-tiba handphonku bergetar dan mengeluarkan suara yang khas, semoga bukan anggota grup yang suka rewel dalam grup. Segera kurenggut hapeku dan meihat apa yang dia ketik setelah sepertinya berpikir sangat lama.

“Aku kangen kamu.” Tulisnya.

Aku keluar dari menu pesan. Melihat jam sekilas 03:00, semua orang sudah tak lagi dengan gadgetnya masing-masing. Pantas saja sunyi sekali rasanya. Segera kutekan tombol samping handphoneku dan memilih menu mematiikan handphone.

Aku segera berdiri mematikan kipas, menutup pintu, berselimut, menutup mata. Dalam kepalaku layar itu masih menampilkan pesan terakhirnya. Selain mematikan kipas, menutup pintu dan berselimut, nyatanya memang ada jenis-jenis hawa dingin yang tak bisa dihalangi oleh serangkaian kegiatan seperti itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sisi Lain Kota P

Seekor Kura-kura yang Keterlaluan Bijaksananya Sedang Berjalan ke Arahku dari Tempat yang Sangat Jauh