Sisi Lain Kota P

Apakah aku percaya tuhan? Aku tak bisa bilang ya, atau tidak. Pertanyaan yang lebih penting, teman-teman, apakah ia sendiri terbukti ada? Keduanya memerlukan bukti yang sama, keberadaan Tuhan itu sendiri.
 
Wajah-wajah mahasiswa baru ini tampak tegang, setelah sebelumnya kaget dan tersentak. Ya ampun lucu sekali. Hal-hal yang selalu terjadi, juga yang aku suka adalah awal tahun kuliah dan pertemuan pertama mata kuliahku. Mengingatkanku sendiri bagaimana aku ertama kali menghadiri sendiri kelas filsafatku saat seusia mereka.

Sekarang, saya ingin kawan-kawan menulis esai dua—huuu yang panjang dari mahasiswa-mahasiswa baru yang aduh kasihan sekali—esai dua puluh paragraf, kumpulkan Sabtu ini, atau kalian tidak akan mendapatkan nilai apa-apa untuk mata kuliah saya.

Temanya, pak? Bangku tengah, urutan ketiga dari belakang, sebentar, ia memakai songkok sejak awal? Pilihan busana yang menrik perhatian.

Siapa namamu? Coba tolong berdiri, saudara….

Khidir, pak. Ia berdiri mengenalkan diri. Dapat kulihat sendiri betapa ganjilnya pilihan berbusananya. Aku tahu anak-anak seusia mereka selalu ingin membuktikan sesuatu. Tapi tidakkah ini sedikit agak berlenbihan? Bahkan jika kau seseorang yang soleh sekalipun, kau pasti akan sungkan mengenakan sarung, sandal japit, gamis.

Aku merasa hari ini merupakan hiburan tiap awal tahunku. Benar-benar bagus untuk memulai tahun ajaran baru seperti ini. Membuatku merasa punya alas ]an untuk mengampu mata kuliah ini lebih lama dari rencana.  

Baiklah Khidir, terimakasih sudah bertanya. Kamu boleh duduk sekarang lalu aku edarkan pula pandanganku pada yang lain, tema esainya membuktikan keberadaan tuhan begitu sampai di kata terakhir, wajahku pasti sedang memasang senyum terbaik yang pernah kumiliki, aku bisa merasakannya sendiri. Energinya, euforianya, rasa senangnya.

Rasanya aku ingin mandi, dan memutar showenya di utaran paling kencang. Tak sabra merasakan bulir-bulir air yang kencang itu menghantam pori-poriku.

**

Satu demi satu aku memeriksa esai, menemukan hal yang sama seperti yang sudah-sudah, keberadaaanya ada pada ciptaannya, evolusi memiliki missing link, dll. Apakah mereka benar-benar sedungu ini sejak sekolah yang makan waktu begitu lama?

Apa saja sih yang mereka pelajari di sekolah? Semua bidang dipelajari dalam Sembilan tahun hanya mengahasilkan anak-anak yang lemah daya nalarnya dan sangat bergantung pada pandangan-pandangan orang dungu yang tak pernah berubah sejak awal sekali.

Apa gunanya matematika? Ilmu pengetahuan alam? Atau... ah bahasa Indonesia?

Harusnya aku tahu hal seperti ini mustilah persoalan yang biasa saja. Tapi aku berharap tahun pelajaran baru ini lebih dari sekadar terdampar pada 300 esai yang hampir seragam dan penalarannya benar-benar membosankan. Aku bosan sekali.

Sabtu ini saya berenc ana menemukan Tuhan, barangkali bapak ingin ikut, temui saya di alun-alun S, tepat depan gerbangnya. Siapkan perlengkapan menjelajah secukupnya, seringan-ringannya.
 
**

Aih rupanya kamu toh Khidir, dia tersenyum setlah melihatku sekilas ia memalimngkan pandangan ke kiri dan ke kananku. Dia sedang menungggu orang lain.

Apa ada yang lain, yang kamu isengi lagi selain saya?

Dia menatap mata saya lalu tersenyum simpul, lagi. Baiklah permainan sudah dimulai ternyata. Tidak kusangka bakal secepat ini. Bukankah akan lebih baik jika kita mulai sedikit berbasa-basi, apalagi ini pertemuan pertama di luar kelas. Tapi benarkah dia sedang menunggu orang lain?

Atau kamu juga korban seperti saya ya?

Dia tersenyum simpul, dan lagi. Ini mulai terasa tidak nyaman. Sepertinya ia ingin tahu apakah aku sedang bersama orang lain. Demi menghentikan  celingak-celinguknya yang aneh aku bilang saya sendiri.

Dia tersenyum lagi dengan cara yang sama, dikurangi soal celingak-celinguknya. Lalu merogoh sisi kanan tasnya, dan menyerahkan secarik kertas dari situ.

Setidaknya dia tidak lagi memakai sarung dan sandal japitnya. Tapi masih mengenakan kopiah. Dia mengganti sarung dengan celana berkantong banyak, mirip dengan punyaku. Punyanya berwarna khaki, dan alas kakinya adalah sepatu gunung yang terlihat nyaman. Terlihat beberapa goresan di bebearapa bagian tapi sepatu tampak bersih, dia terbiasa bepergian. Aku sendiri hanya memakai celana outdoor yang kebetulan sering kupakai saat masih kuliah, dan sandal gunung, satu-satunya yang kupakai, aku membelinya karena sandal jenis ini nyaman dan diam-diam akan tetap membuatku merasa terikat dengan kegiatan alam ala anak-anak sekarang. Membuatku merasa lebih awet muda. Meski usiaku belum tua, baru 35 tahun.

Ini akan memakan waktu sebentar saja, tidak sampai sehari. Saya hormati keputusan anda untuk dating ke sini. Setelah kita sama-sama masuk ke gebang alun-alun itu, kita musti menyepakati tiga hal:

1.       Jangan bicara
Hanya saya yang boleh membuka mulut selama perjalanan ini. Tapi tidak akan ada pembicaraan apapun di antara kita. Tidak ada pertanyaan, tidak juga sekadar komentar. Intinya  tutup mulut anda atau kita berdua akan mati.

2.       Jaga Jarak
Anda berjalan dua meter di belakang saya, jangan mencoba menyentuh saya atau anda akan mati.

3.       Simpan semua pertanyaan di akhir. Kecuali sudah waktunya.

Ingat, jika anda sudah melewati portal pertama, semua syarat ini menentukan apakah kita bisa kembali ke kehidupan ini atau tidak. Artinya hidup atau mati.

Wow, benar-benar permainan yang seru. Aku ingin ketawa kencang. Aku ingin menanyakan apakah game ini sudah dimulai saat ini juga atau baru akan dimulai setelah masuk dalam gerbang?
Hmmm—anjrit dia sudah jalan kira-kira lima meter di depanku, berak kambing tidak ada waktu berpikir lagi.

**

Anak ini pasti sangat ingin bermain Khidir-Musa. Membunuh seorang anak lelaki, membantu membangun tembok rumah orang pelit, membocorkan perahu yang ditumpangi, dll. Konyol sekali jika Khidir yang ini mengira dirinya benar-benar khidir, dan hei apakah aku Musa-nya? Menarik. Bukan hariu minggu yang buruk, kurasa.

Kami masuk ke gerbang alun-alun S, dan sapi piceuk! di kepalaku tiba-tiba 300 lalat sedang orgasme dan meneriakkan sesatu. Kudengar suara ngiiing yang sangat kencang sekitar 2-4 detik. Aku terhuyung, kehilangan keseimbangan, sampai kedua kakiku refleks menemukan pijakan yang lebih tepat. Brengsek.

Aku menarik nafas panjang, menutup hidung dan meniupnya agak kuat, berharap dengan begitu menyapu keluar semua lalat tolol penuh berahui dalam  kepalaku melalu telinga. Hal yang biasa kulakukan setelah turun dari pesawat. Anjrit apa aku baru saja mengalami jet lag?

Kulihat sekitar, orang-orang berjalan-jalan dengan pakaian olahraga biasanya, kepalaku masih terasa sakit, bunyi nging tadi memang sudah hilang, tapi nkupikir gemanya masih terasa. Aku berusaha lebih memperhatikan sekitar: para pelari, pasangan yang sedang berbincang, remaja-remaja tangggung yang mengaso. Semuanya normal.

Aku petakan di mana aku… sekitar sepuluh kaki dari gerbang. Dua puluh kaki dari pusat tugu alun-alun S, dengan jeda waktu sesingkat tadi aku tidak mungkin berdiri tepat di sini. Gerbang itu, apakah tadi itu gerbang yang biasa dibuka setiap Minggu pagi. Cuma satu orang yang bisa menjawab ini…
Di mana Khidir?

**

Musa dan Khidir keduanya adalah utusan Allah Swt, levelnya sama di mata Allah tapi apakah kamu tahu bagaimana awalnya kisah musa Khidir ini bermula?

Suatu kali bani israil bertanya pada Musa, siapakah orang yang paling cerdas dan serba tahu di muka bumi, ini? Musa tidak pernah menemukan orang lain yang lebih cerdas dan cerdik serta penuh keajaban selain dirinya?

Aku, terang Musa.

Dalam waktu yang tidak lama, seseorang yang nampak asing bagi bani Israil memeperkenalkan diri pada Musa sebagai Khidir. Dan mulalilah perjalanan aneh itu. Perjalanan yang jauh lebih membingungkan tinimbang yang oernah dia lalui; tongkat yang berubah menjadi ular, tangan kakannya yang menjelma lentera, dan yang paling menggetarkan: laut yang terbelah, dan mata air yang menderas dari dua belas lubang bekas tancapan tongkatnya sendiri. Tongkat yang sebelumnya hanya berguna untuk mennggembali domba-doma Syu’aib As.

**

Aku melihat warna tas ranselnya, hijau terang, celananbya berwarna khaki, dan itu pasti Khidir. Ia sekitar 30 meter depanku. Mengambil posisi berdiri persis seperti aku. Aku harus bertanya langsung apa yang terjadi, belum sempat aku menyusul posisi Khidir aku merasa kakiku terpaku. Apa aku sedang terserang mabuk hebat atau aku memang sedang memadang Khidir… sedang menggigit… leher seorang—baiklah, jika ini memang permainan musa dan Khidir—tidakkah dia seharusnya sedang membunuh seorang anak laki-laki? Tapi itu tampak seperti orang dewasa seusiaku.

Tangannya meronta-ronta, berusaha melepaskan dirinya dari gigitan—sebentar—apakah itu benar-benar Khidir? Mahasiswa baruku? Dan sekarang (aku sulit untuk mengatakannya, sebab ini terlalu aneh untuk disebut nyata) dia sedang menggigit leher seseorang seperti vampire atau zombie.

Begitu si malang itu merasa lemas, ia melepaskan korbannya begitu saja dan membuat orang-orang yang sedang entah apa yang mereka lakukan sebelumnya, tapi mereka melongo cukup lama sampai mereka bisa menguasai diri, dan di sinilkah yang aku baru pahami, bahwa keganjilan sejak awal ini sudah mulai tampak: masing-masing orang segera mencabut ponsel mereka, dan aku yakin sekarang mereka sedang merekan gambar.

Aku mulai dapat menguasai diri, segera mengikuti arah Khidir berlari. Aku tidak mungkin memikirkan hal lainnya. Tempat ini rasanya sudah bukan tempat yang kutahu selama ini. Ini pasti dimensi yang berbeda atau semacamnya. Yang jelas, berlari ke arah lain, pasti tidak akan berakibat baik bagiku.

**
 
Dia membuka gerbang pendopo. Aku mungkin sedikit panik. Tapi ini pasti semacam portal kedua, jika yang pertama tadi bisa disebut begitu. Yang tadi pastilah portal, dan apa yang baru saja kulihat pastilah tidak mungkin terjadi di dunia nyata. Kalau ini bukan mimpi, mungkin ini sesuatu yang mirip. Aku tak akan mencub it tanganku atau menampar wajahku sendiri. Selain itu tolol, aku sudah melakukannya, saat aku baru sadar kalau aku ternyata berjarak aga jauh dari gerbang masukku di awal.

Baik itu cuma pendopo atau jangan-janagan itu bukan-pendopo-seperti-yang-kukenal-sebelumnya. Aku tahu jika ia masuk ke sana mungkin akan ada sedikit kekacauan lagi, aku harap semoga saja tidak seperti yang pertama.

Dalam kasus Musa-Khidir, momen pembunuhan anak-anak adalah yang paling akhir. Tapi ini malah terjadi di awal, jika ia mau mengurutkannya secara terbalik, berarti sekrang ia akan membantu seseorang memperbaiki sesuatu untuk orang yang berlaku buruk pada kami. Itupun jika saat ini adalah sesuatu yang bukan—aduh, anjing, bagaimana cara mengatakannya, bukan-dunia-nyata?

**

Apakah kita baru saja keluar dari gua? Khidir berdiri di bawah pohon rindang, wajahnya mengahadap ke arahku, beda dengan pertemuan awal kami. Senyumnya lebih lebar. Sepertinya dia menungguku, aku sendiri masih belum bisa berlalu dari kebingunganku sebelumnya. Sekarang, aku harus kebingungan sekali.

Kita sudah sampai pak.

Oh kita sudah bicara sekarang?

Ya pak?

Ya ampun suaraku ternyata tidak sampai melalui tenggorokanku. Sehingga dia menanyakan apa yang baru saja kubilang.

Kita sudah… meski aku sanggup mencapai posisinya berdiri, ternyata aku masih tidak bisa menguasai diriku sendiri. Aku masih merasa jet lag. Ini yang kedua, sepertinya ini portal kedua. Meski tidak seperti yang pertama ini juga bukan hal yang mudah.

Jika tidak salah ingat aku melihat Khidir, mahasiswaku menggigit leher seseorang, lalu orang di sekitarnya hanya mengambil foto dan berkerumun, tanpa sama sekali menyadari apa yang membuat orang malang itu terkapar begitu saja. Atau paling tidak menangkap Khidir dan menelepon polisi, atau ambulan.

Minum dulu pak… aku ingat di sisi kanan tasku ada air  minum, segera kutenggak isinya.dan menghabiskan hampir sepertiga botol, lalu duduk, dan berusaha merebut kendali atas diriku sendiri yang kupikir sebelumnya direbut oleh sesuatu.

Dia melepas kemejanya yang penuh bercak darah dan mencelup dan menguceknya di sungai yang ada di depan kami. Kemudian merogoh anduk, menceljup dan memerasnya lalu menghapus sisa-sisa darah di sekitar lehernya.

Saya tahu bapak punya banyak pertanyaan. Tapi tahanlah dulu. Kita ngopi-ngopilah dulu… oh ya bapak merokok?

Aku mengangguk, mengangsur rokok dan korek dari saku celanaku.

Tempat ini keren sekali, komentarku. Sebelum aku bertanya apa rasanya menggigit leher manusia sampai mati.

Ya….

Aku hampir tidak percaya kalau di dalam gedung pendopo seperti ini.

Eumm…

Ya?

Ini bukan di dalam gedung pendopo, pak.

Jadi ini di mana?

Ini di dalam gedung pendopo. Kalau dalam hitungan dunia kita, tapi ini dunia yang lain.

Alam gaib? Aku mulai bergidik. Membayangkan cerita orang-orang yang katanya diculik ke alam gaib dan baru kemabali setelah sekian tahun lewat. Itupun langsung direhabilitasi dulu. Seperti orang hilang akal. Tapi bukankah akan sangat memalukan bagi seorang dosen filsafat mempercayai cerita seperti itu?

Tanpa kuduga dia malah tergelak. Itu kan bukan istilah yang bakal anda percayai, kan? Katanya setengah mengejek.

Ya, haha aku tertawa garing. Benar-benar istilah yang tidak menyenangkan bahkan diucapkan saja rasanya seperti humor yang buruk.

Kenapa kamu ngelakuin hal tadi?

Yang mana?

Yang tadi.

Oh, ini pak? Dia mengangkat bajunya yang baru saja dia bersihkan bekas darahnya.

Kalau soal ini, setelah kita keluar dari sini bapak pasti paham?

Jadi apa sekarang kita sedang bermimpi?

**

Orang-orang berkerumun  dan membuat suara berisik tak jauh dari tempatku duduk. Sial aku tertidur. Aku benar-benar bingung sekali. Orang-orang berhamburan saling mendahuuli untuk mengintip ke dalam dari celah pagar.

Aku segera berdiri dan menggendong ranselku, berusaha ikutan melihat ke dalam. Tidak ada yang dapat kulihat jelas. Beberapa polisi berseragam khusus berkeliaran.

Ada apa pak?

Ada bom katanya.

Meledak tadi pak?

Keburu ketahuan duluan. Terorisnya sudah di-dor.

Di lehernya?

Masa polisi nembak ke leher sih dek?

Duh pertanyaanku pasti terdengar tolol sekali.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Strategi Menulis yang Menyesatkan

Seekor Kura-kura yang Keterlaluan Bijaksananya Sedang Berjalan ke Arahku dari Tempat yang Sangat Jauh