Setelah dan Sebelum Lintingan Pertama




Jadi nih kita… tidak selesai kalimat itu keluar dari mulutnya, tapi kurasa dia harus melengkapinya. Satu dua detik, ia tidak melanjutkan kalimat itu dan kupikir itu hanyalah kode universalnya untuk mengatakan apapun yang ia perlukan. Misalnya dia lapar, dia bilang jadi nih kita; kebelet berak jadi nih kita; semuanya dikatakan dengan nada ‘a’ yang menggantung di akhir. Yang membedakan satu jadi nih kita dengan yang lain adalah mimic wajah dan konteks yang sesuai dengan situasi yang ada.
 
Sebagai pelengkap kalimat jadi nih kita kali ini ia memainkan mata dan dua alisnya.  Jadi nih kita… matanya mengangkat kedua alis yang aku ragu jika di bagian kanannya, di sana memang pernah ada alis. Alis kanannya terlampau tipis dibanding bagian kirinya, apakah karena ini ia memanjangkan rambut? Atau memang dia baru saja mencukur alis kanannya.

Aku pernah mendengar apa maksud dan tujuan bahasa dikembangkan. Selain untuk merayu perempuan dengan gombal murahan, bahasa juga dapat digunakan untuk berusaha mengepul pengikut, mengumpulkan sekelompok orang dungu yang mengejar-ngejar orang dungu lainnya; mereka selalu berusaha mengganti iman orang demi meraih penghasilan pasif seumur hidup. Tergantung apa posisi dan pekerjaanmu.

Jika semua itu merupakan contoh yang berat aku bisa memberi contoh yang sering kugunakan dan mungkin saja kau sering lupa kalau kau juga kerap menggunakannya, khususnya saat menipu orang tuamu soal bayaran-bayaran kuliah. Yang ujung-ujungnya kaupakai untuk pedekate gebetan atau sekadar memodali hobi aneh seperti naik gunung atau ikut casting sinetron.

Aku juga pernah membaca bagaimana bahasa tbuh, gestur badan, raut wajah dan sebagainya dapat menguatkan tujuan komunikasi yang tadinya hanya dikira mungkin disampaikan secara lisan atau tulisan saja. Tapi aku tak pernah menyangka jika kedua hal itu bisa dilakukan secara bersamaan dengan cara yang radikal. Di mana satu kalimat yang tidak lengkap dapat dilengkapi oleh gestur tubuh dan mimik wajah yang mengingatkanmu pada pelawak-pelawak tertentu di acara televisi. Malah lebih lucu.

Seolah Ula paham apa yang dia maksud, ia mengerling dan mengedipkan mata, membalas jadi nih kita… yang sejak awal aku merasa itu pertanda sesuatu namun aku merasa ada beberapa hal yang terasa ganjil dan otakku tidak sempat memikirkannya terlalu jauh untuk mengetahui ke mana sebenarnya arah dari jadi nih kita… si gondrong itu.

Lalu tangan si laki-laki kurus yang belakangan aku tahu namanya Irman itu merogoh ke lemari kecil yang tegak di belakangnya dengan tangan kiri tanpa sedikitpun bagian depan tubuhnya berbalik. Semua dilakukan tanpa menggeser tubuh sedikit pun dari posisinya bersila.

Baiklah itu hanya sebuah kaleng bekas rokok, kaleng biasa, tidak ada yang special. Satu perstau tangan kanannya merogoh isi kaleng: setumpuk kecil kertas gulung papir, lalu segulung plastik kecil berisi serpihan tembakau yang biasa kutemui di meja ruang tamu rumah kakekku, hanya saja isinya terlalu sedikit. Tidak ada yang spesial, selain jumlahnya yang sedikit dan bagaimana cara laki-laki gondrong itu memperlakukan plastik kecil pada sisa-sisa tembakau di dalamnya.

Kuncinya ada pada bungkus kecil itu. Apakah ini seperti yang aku pikirkan? Semuanya nampak masuk akal dan cukup bisa menjadi alasan mengapa Ula dan lelaki gondrong ini musti mengganti komunikasinya dengan cara yang aneh. Seolah di antara mereka adalah jalur komunikasi aman yang tak mungkin dimasuki oleh pihak-pihak tidak diinginkan; yang suka turut campur dan mencuri dengar percakapan mereka yang sepertinya amat rahasia.

Semuanya adalah hal yang biasa saja sampai aku mulai mengumpulkan hal-hal kecil yang mengantarkanku sampai di sini.

Uli bosan dan merasa perlu mengobati patah hatiku, lalu lantai empat gedung kesenian, dan komunikasi-komunikasi terkode. Tiga hal itu saja seharusnya cukup untuk sejak awal menebak bakal kemana kita setelah ini.

***

Bosan sekali, ih anying. Aku bosan. Aku menoleh demi memandang wajahnya lagi, untuk yang kesekian kali memintanya berhenti meneriakkan kata-kata yang tidak akan menolongnya sama sekali. Sekaligus meminta penjelasan mengapa kali ini dia bilang bosan setelah sebelumnya berkali-kali suka menaikan suaranya uintuk mengikuti musik yang kami stel atau menertawakan entah apa yang dia tonton di gadgetnya, atau sekadar mengomentari foto-foto temannya di instagram.

Dia cuma mengulang pertanyaan yang sama seperti tiga jam yang lalu: kamu lagi nulis apa sih? Masih lama gak? Sambil bertanya begitu ia merangsek seperti seekor kucing peliharaan ke pahaku, dan mengambil posisi tidur kucing yang mustahil ditolak pecinta kucing manapun. Dia sedang merayu.

Kalau aku jadi kucing kamu mau melihara aku gak?

Tuh kan. Aku menggeleng. Aku sudah trahu pasti kamu bakal jawab begitu. Kamu tahu gak sih kalau kamu terus-terusan begini, kamu gak akan pernah punya pacar.

Aku menghentikan ketikanku, meski pikiranku masih berkeecamuk memikirkan apa yang akan dan sedang menggerakkan si aku dan Ula. Tiba-tiba aku merasa mentok dan pembicaraan soal itu benar-benar membuatku tidak senang. Apalagi sekarang dia sedang meletakkan pipinya di pahaku? Aku menoleh sekali lagi, dan aku ingin dia paham wajahku sedang bilang: aku tidak tertarik pada pembicaraan semacam ini, dan kamu biri-biri yang ketiaknya penuh kutu, harusnya sudah tahu kalau aku akan selalu tidak tertarik dengan pembicaraan semacam ini.

Kamu sebenarnya pernah kepikiran tidur bareng aku, gak sih? Dia memainkan alisnya. Godaan seperti ini, bukan pertama kalinya. Aku malas menanggapinya. Orang gila, hampir dua kali seminggu dia menginap di sini, tidur di satu-satunya kasurku, dan karena kebiasaannya ini mulai semakin sering aku mulai membeli sleeping bag, karena tidak tahan semalaman tidur dengan sejadah dan sarung.

Kamu homoseks kan? Seolah tidak cukup menggesekkan pipinya di pahaku, sekarang tangannya mulai membelai pipiku. Cie homo cie… kudengar homo itu pencium yang terampil. Kalau kamu gak mau tidur sama aku, gimana kalau ciuman saja?

Aku merasa tidak suka dengan sebutan homo, maksudku, itu seperti menyebut orang yang tidak seagama denganmu kafir. Sama sekali bukan kata yang enak didengar.

Jangan sebut mereka homo, itu kasar. Sambil begitu kuangkat kakiku yang tadinya bersila jadi posisi jongkok dengan cepat. Hei! kepalanya hampir membentur lantai.  

Aku gak suka.

Iya maaf dong… aku pijitin yaa

Tidak, kamu balik lagi ke kasur tersaerah mau ngapain. Aku gak mau kamu ngerengek-ngerengek kayak barusan lagi. Kita udah sepakat, tunggu aku selesaikan ini dulu, habis itu terserah kamu.

***

Dari semua gerakan yang dilakukan laki-laki itu, caranya memperlakukan serpihan daun dalam bungkusan kecil itu, dan bagaimana ia memasukkan serpih yang berserak di lantai ke dalam mulutnya mengingatkanmu pada iklan susu kaleng sampai tetes terakhir. Ia seolah tak mengizinkan ada serpihan yang tercecer begitu saja. Aku yakin ini bukan tembakau sebagaimana yang kukira sebelumnya. Ini sesuatu yang lain.

Kalau  mau dibakar semua, ini bisa jadi dua linting kecil, cukuplah untuk kita bertiga mah… dan dia mulai meletakkan sedikit demi sedikit serpih yang sudah kuduga itu ke bagian tengah kertas, dan dengan gerakan yang tangkas ia menggulungnya dengan satu sudut lebih kecil dan sudut sisanya yang lebih besar. Dengan begitu siapapun tahu bagian mana yang harus dibakar, dan bagian mana untuk dihisap.

Aku tidak mungkin menanyakan langsung apa yang sedang kami lakukan sekarang. Berdasar kecurigaanku dan bagaimana akhirnya aku bisa sampai ke sini aku tahu bertanya langsung apakah ini seperti yang aku duga akan terasa mengganggu.

Cobalah kata si laki-laki berlekbong kumal dan menampakkan tulang lengannya yang menonjol itu. Aku menghisapnya, seperti tembakau kataku berkomentar. Aha! Aku baru saja membuka percakapan dan menggali rasa penasaranku.

***

Terserah aku bagi perempuan ini artinya ia akan melakukan banyak hal tolol dan sia-sia dengan aku yang berada di sekitarnya. Berjaga, takut perilaku mabuknya malah membuatnya celaka, seperti mengajak bule tidur, menantang bartender berkelahi, atau malah tidur dan menyanyikan lagu-lagu yang menurut dugaanku seperti lagu-lagu korea… jika sudah begitu berarti aku musti menyewa taksi lalu menggendongnya ke indekosku. Jangan Tanya lagi pandangan seperti apa yang melekat sepanjang aku menggendong dia ke indekosku.

Suatu kali ia mengajakku ke Perumahan Ester, dari jalan-jalan dan tampak depan rumah di sana, kau bisa tahu di mana mereka biasa singgah hanya untuk minum kopi dan bergosip.

Hei, hei, berhenti sebentar…

Aku menepi, berhenti menurunkan standard kiri, kuputar kunci dengan maksud mematikan mesin motor dan—biarin nyala. Aku sebentar saja bisiknya. Kunyalakan lagi motorku. Kamu mau apa? Aku balas berbisik, refkleks mengikuiti nada bicaranya.

Dia turun dari motor. Membungkukkan badan, celingak-celinguk, mata sipitnya yang menyedihkan itu dibuatnya semakin sipit. Kotoran kuda! Ini sama sekali bukan gestur tubuh seseorang yang akan bertamu baik-baik, menekan bel, menanyakan apakah penghuni rumah ada, jika ada ia (meski ini aneh, tapi masih wajar) bakal mengatakan selamat tidur atau titip pesan: tolong like foto IG saya. Tidak mungkin dengan gelagat seperti ini.

Eh itu satpamnya beneran lagi enggak ada kan?

Dia tidak menunggu jawaban, aku tahu, buktinya dia langsung berlari pelan mengendap-ngendap seperti akting maling dalam sinema televisi yang tolol dan… cara berjalan maling kukira tidak perlu sebegitunya. Dengan cara jalan yang tolol seperti itu ia melintasi taman kecil depan gerbang dan ya ampun kukira dia mau apa ternyata dia mengincar tombol bel sekitar 10 atau 11 kali aku tidak sempat menghitung apalagi menariuk kesimpulan soal apa yang sedang dia lakukan, sebab dia sudah keburu sampai duluan di boncengan

Gas, bego…

***

Perempuan ini mulai memutar lagu, astaga korea, dean pelan-pelan mengikutinya di bagian intro, lalu diam lalu di bagian refrain, lalu diam, lalu begitu pula yang terjadi di lagu-lagfu selan jutnya. Aku pernah hampir hafal beberapa lagu dari yang diputarnya, dan diam-diam aku mengikuti Fa yang berdendang, tentu saja itu hanya terjadi dalam kepalaku

Dari mana aku bisa hafal lagu-lagu kacangan begitu? Sebab seseorang yang tidak ingin kuceritakan saat ini. Dia mirip seperti si perempuan, hanya saja orang itu jauh lebih gila dan sanggup memelototi leptop dua hari dua malam hanya untuk relly menghabiskan drama korea.

Jika bagi Marx agama adakah candu, kukira dia harus lihat sendiri orang-itu, dan mulai berhati-hati mengucapkan apa yang disebut candu. Atau setidaknya lebih variatif dalam membuat pemisalan.

Pada batang pertama, yang terjadi adalah percakapan kecil di mana semua hal bisa terasa lucu, apa saja bias lucu, dan semuanya tertawa saling menyambung dan begitu lama sampai lupa apa sebab pertama yang menyebabkan semua terasa lucu.

Apakah laki-laki gombal ini mengutip Dataran Tortilla? Dan mengganti bagian buli-buli anggur dengan lintingan-lintingan? Benar-benar menarik.

Kemudian, perempuan itu mematikan handphone dan ternyata aku nyimpen lagu korea lebih banyak daripada rekaman liputanku sendiri, lucu juga ia bicara pada dirinya sendiri dan tertawa kecil, mulanya pendek-pendek saja smapi dia terbahak dan kesadarannya yang tersisa membuatnya menahan mulutnya sendiri dengan tangan kirinya. Terdengar bunyi tikus terjepit, tikus dalam mulut perempuan yang kukira memang sedang menertawakan sesuatu yang barangkali sudah bukan lagi soal koleksi lagunya sendiri.

Lalu hening… sialan, dia benar-benar mengutip Steinbeck, lebih jauh dia malah memparafrasekannya dengan bagus. Kukira dia benar-benar hapal apa yang membuat semua mabuk tampak sama di permukaannya, maupun kedalamanya.

Perempuan itu mulai meletakkan gadget di dadanya. Ia berbaraing membiarkan dua tangannya lepas begitu saja sementara matanya teyeng ke langit-langit.

…seperti dikusi film pendek yang buruk, di mana film-film sok filosofis itu hanya membuat audiensnya mengantuk atau mulai menghibur diri di kolom search instagram atau berbalas komentar di whatsapp group, apa saja asala selamat dari rangkain film dan berhasil mendapuk diri sebagai barisan artsy, sambil sama sekali tidak mau ambil pusing soal pesan yang ingin disampaikan dalam film tersebut. Filosofi? Ah jadikan caption saja.

Aku setuju. Mantap bang… hehe

Jadi neh kita… hehe. Ia menaikkan alisnya dan aku masih belum percaya jika itu memang alis aslinya. Ia pasti isengberusaha merapikannya atau sengaja menjadikannya seperti atau entahlah. Tapi kupikir apapun yang ada di alisnya memang sudah diphaminya dengan baik ini alis.

Ia menyulut batang baru, perempuan itu duduk lagi. Jadi nih kita… hal yang sama terjadi lagi. Ia melinting lagi. Sepi ya…

Di batang kedua bung—dia menjulurkan tangannya

Su, kataku memperkenalkan diri dan menyambut uluran tangannya.

Bung Su? Ia seperti memastikan, hehe aneh juga namamu itu. 

Dia memang suka menmyingkat banyak hal, perempuan itu menyambung sambil menyodorkan batang kedua untukku. Aku menyedotnya sekali, dan langsung menyorongkannya pada si lelaki gondrong itu, tidak Su, dua sampai tiga hisapan panjang kalau mau tahu apa yang terjadi di hisapan kedua.

Aku menghisapnya, dan ini hisapan ke berapa ya. Barangkali ke tujuh…

Bung, maaf siapa tadi—Heru katanya. Dan ia mulai tersenyum, tahu aku mulai masuk fase kedua, dalam dataran tortilla berarti kita akan bicara filsafat. Aku tidak suka bicara filsafat, kukira pembicaraan yang berkaitan akan jauh lebih menaik.

Aku merasa orang-orang berlebihan soal dataran Tortilla—

Ya, aku setuju.. Man an— 

Man and Mice jauh lebih kuat dari sisi penceritaan dan pesan dan lain-lain yang memang perlu ada dalam cerita-cerita yang bagus.  

Kami ketawa karena aku mulai berani balas memotong pembicaraan.

***

Baik, aku sudah selesai, setelah ini terserah kamu

Oh syukurlah.

Aku lagi pengen mmm…

Minum-minum di tempat biasa, atau mencet-mencet bel rumah orang?

Mmm… aku pengen ngebaks

Aku pilih tidur sama kamu aja

Ah. Kamu mana berani!

Tai kuda!



Purwakarta, 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Strategi Menulis yang Menyesatkan

Sisi Lain Kota P

Seekor Kura-kura yang Keterlaluan Bijaksananya Sedang Berjalan ke Arahku dari Tempat yang Sangat Jauh