Seperti di Film-Film, Aku Harap Hidupku Punya Latar Musik

“Bolos yuk.” Begitu bunyi pesan masuk itu. Baru saja dikirim. Setelah kulirik sekilas kulakukan hal yang biasanya. Tidak membalas dengan apapun. Tidak satu kata, tidak juga emoji.

Dia tidak pernah mengajakku bicara sebelumnya, tidak sedikit pun. Mungkin basa-basi kecil pernah. Tapi itu sudah lama dan aku tidak ingat betul bagaimana itu terjadi. Itu semacam dia menyapaku tapi tanpa bermaksud benar-benar menyapaku, ingin tahu kabarku, atau minimal menanyakan kenapa aku pindah ke sekolah ini. Kalau aku tidak lupa, ia bertanya apakah aku punya saran untuk acara yang bakal kami semua lakukan saat perpisahan nanti.

Aku tidak ingat saat itu menjawab apa, tapi yang jelas dia tidak menanyakan apa-apa lagi setalah ia mendengar jawabanku. Intinya kami tidak berteman, dan tentu saja kami jauh dari kata akrab. Semuanya terasa normal-normal saja semenjak aku pindah ke kelas ini. Tidak ada yang betah mengobrol denganku.

Jika saja yang ia lakukan padaku hanyalah semacam menyapa sekadarnya seperti beberapa waktu yang tak aku ingat lagi itu, maka aku tak merasa perlu menceritakan ini. Tapi kali ini nampaknya akan berbeda. Kau bisa bayangkan ini. Seorang gadis bintang kelas, sekaligus ketua kelas mengajakku melakukan sesuatu yang tidak pernah terlintas sejenak pun bakal ia lakukan. Mengajakku pula. Satu pesan itu tetap tidak membuktikan apa pun, terutama soal mengajakku. Aku harus menunggu pesan yang lain agar yakin.

Ra dan Ri membolos itu terlalu jauh untuk menjadi nyata. Itu mimpi, mimpi dalam arti yang sangat tolol tidak karuan. Kemungkinan 0.000001 persen saja pun tidak. Lebih mudah membayangkan jika hari ini, sepulang aku sekolah bakal ada seorang perempuan yang ingin aku jadi pacarnya. Meskipun kemungkinan itu juga tidak sampai satu persen sekali pun.

“Kamu pernah bolos, tidak?” pesan lainnya masuk, dari orang yang sama. Aku merasa semua pikiranku sebelumnya musti dihembuskan dari dalam kepala.

Begitu melihat pesan pertama masuk aku tidak begitu kaget dan mencoba tetap tenang meski pikiranku sedikit kalang kabut. Itu pasti hanya orang yang salah kirim. Hal yang meski jarang terjadi, tapi jika pesan itu menyangkut diriku, pastilah itu yang terjadi jika bukan pesan broadcast.

Kau mungkin sulit percaya bahwa soal salah kirim ini tidak mungkin terjadi, tapi kasus seperti ini sering terjadi pada mereka yang sekali dua kali aktivitas handphonenya tidak sanggup mengikuti keinginan usernya yang terlalu agresif dan multi-tasking. Biasanya mereka membalas pesan-pesan di grup whatsapp, sambil mempost sesuatu di beberapa media social, membuka beberapa tab browser, bahkan menonton youtube juga.

Membacanya sebenarnya aku tidak kaget. Aku masih mengabaikannya dan melanjutkan apa yang sedang kukerjakan. Mendengar musik sambil memperhatikan semua orang yang sibuk berurusan dengan urusan pentingnya.

Menjelang ujian nasional begini semuanya tiba-tiba terasa genting. Materi-materi pelajaran menjadi lebih padat dan waktu-waktunya menjadi lebih panjang. Membosankan sekali mendengar bapak ibu terhormat itu selalu menyelipkan pesan-pesan horornya soal nem, universitas favorit, karir dan hal-hal lain yang seharunya biasa saja.

Syukurlah kali ini kami ditinggal untuk belajar sendiri di kelas. Guru-guru sedang rapat, dan semua siswa tahu bahwa ini saat yang baik untuk, mereka menyebutnya break. Membuat footage foto atau video tolol untuk diputar di acara perpisahan nanti dan sebagainya. Tampaknya jargon perpisahan nanti harus berkesan mereka mengulang-ulangnya seperti minum obat stress mereka sebab penyakit yang sering diulang para guru sebentar lagi UN.

Sudah hampir dua jam kelas berjalan seperti ini. Break ternyata lama-lama terasa membosankan. Apa aku harus tidur lagi saja, seperti tadi?

“Hai Ri, aku tahu kamu lagi gak ngapa-ngapain, jawab dong wa-ku.” Astaga. Dia benar-benar sedang berbicara padaku. Kali ini ia duduk di kursi seberang kursiku, dan menumpuk dua tangannya dan menambahkan wajahnya yang bulat dan bersih di atasnya.

“Oh, hai, Ra. Maaf kupikir kamu salah kirim atau apa. Hehe.” Balasku.

“Lagi dengerin apa sih?” Tanyanya. Aku ulurkan headset sebelah kiriku, kuharap itu jawaban yang cukup. Setelah menerimanya di telinga kakan, ia mengambil posisi ukur meja di bangkuku. Kepalanya membelakangi wajahku. Rambutnya menguarkan aroma yang harum, mungkin shampoonya atau conditionernya. Sedikit parfum, sedikit keringat tengah hari, aromanya hangat dan menyenangkan.

“Eh soal wa yang tadi, musti aku balas sekarang tidak?”

“Tidak usah, tolol. Kita mau berangkat setelah satu lagu ini selesai.”


Aku segera memasukkan semua peralatanku, seperti headset, sketch book dan beberapa perangkat gambar ke dalam tas. Tak lupa aku meninggalkan buku-buku paket soal di laci bangku.

Sementara Ra kembali ke bangkunya, entah apa yang dia lakukan. Aku segera keluar kelas sesuati intruksi Ra, aku keluar duluan, melompat tembok di belakang wc, kemudian ia akan menyusul sekitar dua atau tiga menit.

Bodo amat, aku tidak harus membawa dan mengisi semua lembar soal sialan ini. Aku bahkan tidak betah melakukan semua hal yang membuatku merasa ingin mandi air dingin di suatu tempat yang sangat jauh, bersama hewan-hewan kutub seperti berang-berang dan singa laut. Lalu kami berenang, berteman, dan membicarakan hal-hal yang menarik seperti mengapa Kurt Cobain sangat ingin mengakhiri hidupnya dengan luka tembak di kepala, lalu menceburkan dirinya di kolam.

Barangkali dari binatang-binatang aku bakal belajar lebih banyak bagaimana bertahan di tempat yang  sepertinya betul-betul kurang ajar dinginnya. Dan jika memang dunia ini begitu membosankan, aku musti mendpatakan saran agar tidak merepotkan diri membeli pistol terlebih dulu lalu membagun kolam renang. Belajar bahasa singat laut sepertinya akan sangat menarik.

Aku segera keluar dan seperti biasa tidak seorang pun bertanya, atau sekedar menggodaku. Jika semua guru benar-benar sedang rapat artinya jalan dari kelas ke kamar mandi benar-benar bersih dari guru piket. Satpam berada jauh di gerbang. Jika memangapa yang sering kudengar itu benar, seharyusnya aku tidak perlu mengkhawatirkan apa pun. Toh ini bolos pertamaku setelah semua tahun-tahun yang penuh dengan jadwal mata pelajaran sekolah yang aku masih bingung apa gunanya.

Dua sampai tiga menit aku menunggu apa yang akan segera muncul. Singa laut melompati tembok sekolah sepertinya akan lucu.

“Hei,” Ra melongokkan kepala. Setelah dua tiga menit—aku tidak yakin—memandang tembok sambil celingak-celinguk dan meredakan semua perasaan cemas dengan memekirkan hal-hal tolol, kini aku merasa lega. Jauh lebih lega dari pada melihat singa laut yang melongok dari balik tembok, bisa bicara, dan dia menyebut namaku.

Sekarang aku mulai khawatir rok panjangnya akan menganggunya dalam soal lompat-melompat. Jika sampai ia tersangkut atau apa, pasti akan sangat merepotkan kami.

“Kamu yakin bisa loncat?” Tanyaku cemas.

“Kamu kira aku selemah itu ya…” Dia memanjat tembok, dan ia sudah mengganti baju dan roknya menjadi jeans panjang ketat. Ia pasti sudah merencanakan ini sebelumnya.

“Oke, siap.” Dia melompat dari tembok itu seperti bukan orang yang pertanma kali melakukannya. Aku hamper tidak percaya jika ia adalah Ra kami. Juara kelas dan ketua kelas kami.

“Kita mau ke mana?”

“Kamu bilang ini yang pertama kan?”

“Ini juga yang pertama buat kamu sejak kelas tiga.” Balasku. Dia tersenyum kecut mendengar balasanku.

“Kita perlu carikan kamu kostum yang pas untuk membolos.”


Aku tidak pernah sengaja berkunjung ke kota ini, atau lebih tepatnya membolos lalu memutuskan ke kota ini. Tidak ada hal menarik di kota C. Kota ini sepi, mallnya juga seperti tak punya pengunjung, dan masih banyak kios yang belum buka, atau malah kios itu memang tidak ada penyewanya?

Tapi apa ini karena jam-jam sekolah? Aku pernah melihat kota-kota yang jauh dari sekolahku saat SD di jam-jam sekolah sebelumnya. Kota itu terasa menentramkan. Meski tidak bias kusebut sepi. Rasanya menyenangkan sekali melihat kota dengan seragam sekolah, tanpa merasa punya kewajiban sekolah. Tapi itu sudah sekitar tujuh atau delapan tahun lalu saat aku masih sekolah dasar.

Aku di bawa ke luar kota oleh guru Bahasa Indonesiaku, Ibu Neli, sekali lagi jika ingatanku tidak berkhianat. Kami pergi mengikuti lomba yang tidak kumenangkan. Jika ingatanku tidak berkhianat (lagi) itu lomba sinopsis dongeng anak. Dongeng itu, dongeng kancil yang ditipu sekelompok siput. Cerita yang sangat payah, dan aku hanya dilatih dengan sebuah nasihat yang membuatku tidak bisa membayangkannya.

“Begini, Ri, menulis sinopsis itu seperti kamu menonton sinetron, lalu kamu menceritakannya kepada adikmu, bagaimana cerita sinetron tersebut.” Begitu terang bu Nelly. Dan mengucapkan semua itu berulangkali, jika ingatan masa kecilku tidak benar-benar kabur, ia mengatakannya sebanyak lima belas kali.

Kemudian ia mengajakku menonton berita, sebuah kebakaran yang terjadi di sebuah rumah besar. Jika aku tak salah ingat, itu di Jakarta, begitu yang tertulis di bagian bawah video tersebut. Begitu televise dimatikan, ia meminta aku menceritakan apa yang kulihat. Aku menceritakannya secara lisan.

Dan dalam beberapa kali ia bahkan mengatakannya perlahan… seolah ia mengeja sesuatu dan sedang mendiktekannya untuk seorang murid yang gobloknya luar biasa di dalam kepalaku: “ka-mu-me-non-ton-si-net-ron-la-lu-men-ce-ri-ta-kan-nya-ke-pa-da-a-dik-mu.”

Ingat ya Ri… ia menutup nasihatnya sebelum kami berpisah depan ruang lomba. Sampai di situ pun aku bahkan tidak berani mengatakan: aku tidak punya adik, dan bapakku menyingkirkan satu-satunya televise di rumah kami, juga melarangku menontonnya di rumah teman, karena semua hal tentang televisi itu haram dan maksiat.

Masa bodoh, aku masuk ke kelas. Lalu seorang petugas membagikan kertas berisi dongeng tolol itu, meninggalkan kami beberapa menit. Kemudian mengganti kertas dongeng itu dengan kertas kosong. Kami diminta menuliskan sinopsisnya. Bukankah bu Nelly hanya memintaku menceritakan sinetron yang baru kutontong pada adikku, juga hanya meminta diceritakan berita kebakaran yang kulihat dengan lisan. Lalu kenapa kertas-kertas yang dibagikan?

“Mulai!” Ujar bapak-bapak yang pakainnya tidak jauh berbeda dari guru-guru di sekolah kami.

Aku lihat orang-orang melakukan gerak menulis sesuatu di atas kertas. Aku ikut mengeluarkan pulpenku sebagaimana yang lain—kali ini aku benar-benar lupa dengan apa yang kutulis saat itu. Setelah lomba itu berlalu sekian bulan pun aku tidak tahu apakah aku masuk juara atau tidak.

Yang kuingat, kakak kelasku Hanifah, yang putih dan cantik memegang tanganku saat bubar lomba. Ia sepertinya takut tubuhku yang kecil terseret kerumunan orang yang sedang berlalu lalang di sekitar area lomba. Hanya itu. Sebuah tangan yang menggenggam tangan kosongku. 

Aku sendiri bingung mana yang sebenarnya lebih membahagiakan, tidak sekolah, atau hal yang terakhir kuingat ini.


**


Ra mencegat angkot hijau nomer 20, dengan trayek Purwakarta Cikampek, aku tidak mau protes, lagipula ini bolos pertama dan aku tidak punya pilihan apa-apa untuk dilakukan. Kami duduk di paling pojok. Ia mengambil tempat yang sama.

“Aku sudah lama tidak naik angkot,” ia segera menggeser jendela belakang agar terbuka. Begitu angkot berangkat, angin berhembus dari arah jendela yang baru saja dibukanya. Aku menebak-nebak parfum atau shampoo-kah yang kuhirup pelan-pelan ini. Baunya lembut, terasa akrab, tapi juga tidak pernah kuhirup sebelumnya. Seperti paduan sedikit aroma bunga melati, dengan sedikit aroma jeruk sayup-sayup yang segar. Selebihnya aku tidak tahu pernah mencium aroma ini di mana. Aku tidak begitu percaya dengan ingatanku.

Jalanan tampak sepi jam 10 seperti ini. Tidak ada yang berniat ke pasar atau apa, mungkin karena itulah si mamang angkot sering menarik gas, seolah-olah sesuatu mengejarnya dari belakang. Berkali-kali Ra musti merapikan rambutnya yang lolos dari ikatan. Aku ingin sekali menyarabkan agara ia mengikat ulang rambutnya, tanpa menyisakan sedikitpun poni dan beberapa helai yang menjulur di pelipisnya. Tapi aku sama sekali tidak punya kapasitas apapun untuk menyarankan perempuan menata rambutnya.

“Bosan juga bertahun-tahun diantarin.”

Matanya masih mengedip-ngedip karena rambut-rambutnya yang tersapu angin membuat matanya terasa geli.
“Maksudmu sekarang, kamu lagi pamer?” Aku menggodanya.

“Aku kan cuma cerita.” Ia menampakkan cengiran sebalnya, seolah-olah kami mulai akrab.

“Kita mau ke Cikampek cuma buat nyari kostum buat aku?” Tanyaku, ia mengangguk. “Boleh aku lanjutkan ceritaku?”

Aku gantian mengangguk. Dan menyorongkan jempolku seperti yang biasa dilakukan orang-orang jawa keraton ketika mereka bilang monggo/silakan. Senyum sebalnya berganti menjadi sesuatu yang paling menyenangkan untuk dilihat. Seperti eumm… seolah-olah ia ingin kau mengecupnya di dahi atau semacamnya. Senyum itu menegaskan lesung pipit di pipinya. Kupikir aku tahu di mana tempat pertama yang musti kukecup selain di dahi.

Meski begitu aku khawatir ia akan menampakkan senyum semacam itu lagi. Sebab perasaan senang yang ditimbulkannya itu membuat perasaan tidak nyaman.


“Jadi, ceritanya?” Tanyaku setelah melihat ia menarik napas panjang, lalu menahannya sejenak, membiarkan semua yang ia hirup benar-benar masuk ke segala ruang di paru-parunya. Satu detik, dua detik, empat detik… ia menghembuskan napasnya panjang, seolah-olah dengan begitu semua beban yang dia rasakan menyemprot keluar dari mulutnya.

Dia terdiam lagi. Aku merasa ini pasti cerita yang sangat penting, ia memilihku pasti karena aku adalah orang yang tak pernah terlihat punya teman. Ia pasti punya rahasia yang terlalu besar sehingga ingin menyimpannya di tempat lain, selain dalam benaknya.

“Ini lebih mirip pengakuan sih…”

“Okey. Aku ngerti.” Jawabku sekenanya.

“Tapi nanti ajalah, masa bagian terpenting misi bolos kita udah mau dirasakan di sini?”

Kami turun depan mall Cikampek yang tidak tampak kesannya seperti Mall. “Jadi kita jauh-jauh membolos hanya untuk pergi ke Mall?” Komentarku setengah kecewa.

“Ini cuma buat ganti kostum kamu, habis itu kita pergi dari sini.”

“Aku pikir kostum tidak lebih penting dari pada yang sedang kamu tahan dalam kepalamu.”

“Iya sih…” Ia menarik nafasnya lagi, menahannya sekitar dua detik, dan menghembusakannya dengan cepat. Tidak sepanjang tadi.

“Kita ke tempat favoritku waktu kecil.”

“Time Zone?”

“Enggak bego. Udah ikut aja.”

Aku segera mengikuti langkahnya menyeberang jalan. Tiba-tiba ia menarik tangan kiriku dan menggandengnya. Ia berjalan selangkah di depanku. Dari posisi jalannya, matanya yang awas, dan gerakannya yang waspada, ia bukan seperti seseorang yang takut menyeberang kemudian ingin ditemani.

Meski kota ini tampak sepi, tapi jalanannya ternyata tetap ramai dengan truk-truk dan bus-bus besar yang saling mnyelip dan membunyikan klakson. Ia menggandeng tanganku dan perasaan waspadanya yang panas terasa sedang menjalar di tanganku.

Dulu, seseorang pernah melakukan hal yang sama ketika aku masih SD, Hanifah kakak kelasku yang putih dan cantik. Apakah aroma asing selain sedikit melati dan sedikit jeruk dari parfum ini, sebenarnya hanyalah bau deterjen yang sudah tidak pernah kulihat lagi iklannya sejak lama?

Seperti di film-film, aku harap hidupku punya latar musik, agar aku tahu hal apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Strategi Menulis yang Menyesatkan

Sisi Lain Kota P

Seekor Kura-kura yang Keterlaluan Bijaksananya Sedang Berjalan ke Arahku dari Tempat yang Sangat Jauh