Menulis Surat Bunuh Diri
Kepada siapa pun, di mana pun.
Aku ceritakan
ini agar kau mengerti dua hal. Pertama, jika surat ini sudah sampai di tanganmu
artinya aku sudah mati. Ya iya lah, namanya juga surat bunuh diri.
Kedua, menulis surat bunuh diri seharusnya bisa sangat menyenangkan… seperti yang
sedang kulakukan saat ini.
Kau mungkin
akan menemukan detil kabar kematianku di berita-berita. Tidak akan ada di headnews
mungkin, hanya di kolom-kolom kecil di antara artikel kenaikan harga cabai dan
sembako lainnya. Mungkin di halaman lain diapit oleh iklan bank dan perusahaan
kredit di surat kabar lokal. Aku tidak bisa tahu pasti, kan aku sudah mati.
Nah, jika saja
aku memang ternyata sebegitu tidak menariknya, dan kau sama sekali tidak
mendapatkan cerita kematianku di tempat-tempat seperti yang kusebut. Kukira
media sosial yang dipenuhi orang-orang baik akan berbaik hati mengabarkannya
kepadamu. Mungkin dengan beberapa tambahan cerita, beberapa aka nada yang
sesuai, beberapa lagi mungkin juga akan sangat tidak relevan sama sekali.
Sebagai pembaca kukira kau tak akan berpikir lebih banyak dari sekedar orang
yang menyedihkan dan jauh dari agama dan terlalu pengecut untuk menghadapi
hidup.
Tapi sebelum
kau benar-benar berpikir kotor seperti itu, aku perlu mengatakan sesuatu. Kau
perlu mendengar suaraku, pandangan pribadiku terhadap semua hal yang sedang
berkembang dalam kepalamu ketika mendengar kabar kematianku.
Sebelum kau
membuat pandangan-pandangan yang menghakimiku, kau harus tahu dulu ceritaku.
Dengan begitu mungkin kau bisa berpikir lebih jernih tentang mengapa aku
melakukan semua ini.
**
Semula aku mengira ia akan
menyebutkan semua alasan sebenarnya di balik keputusan yang tak mungkin
main-main. Seperti memutuskan pernikahan yang pertama, memutuskan untuk
mengakhiri hidup kukira sama beratnya. Bedanya hanya kau tak mungkin mengalami
kematian lebih dari sekali.
Jadi ini adalah perkara besar. Musti penuh pertimbangan.
Ia harus menghitung proporsi harapan-harapan baik di masa mendatang. Jika itu
saja tak cukup membuatnya yakin, ia harus memikirkan hari-hari lampau yang
ingin ia lemparkan ke tempat yang lebih jauh, masa yang lebih lampau, alam lupa
didambakan banyak orang sakit hati.
Tapi jika itu saja tidak cukup,
dan ini sebenarnya keterlaluan. Maka ia bisa memikirkan hal yang sederhana
seperi ini: Di sini dan di sana sama saja. Di antara tadi, nanti, dan sekarang
tidak ada yang begitu perlu dipikirkan, maka apa bedanya hidup dan mati?
Lalu ia tinggal melakukan apa pun
yang menurutnya perlu dilakukan.
Barangkali hari ini adalah
saatnya menarik semua tabungan rasa terburuknya setelah setiap hari ia
mendepositkan segala macam kekecewaan, mulai dari melihat anak-anak di rumahnya
mulai tumbuh menjadi brengsek-brengsek kecil. Mereka tumbuh perlahan dan sangat
piawai mengecewakannnya.
Sehingga dia mengira saat usianya
semakin tua, semuanya hanya akan semakin buruk saja. Sebuah kematian yang
menyebalkan banyak orang hari ini, menurutnya jauh lebih baik dari hari tua
yang sangat buruk. Penuh dengan kekecewaan yang bertumpuk-tumpuk.
Suaminya yang hangat, meski sudah
lama terjadi, kini mulai kentara seperti binatang berengsek selalu menjawab
pertanyaanmu dengan suara geruman kecil dan gerak tubuh yang irit, seperti
sedang bergeming. Seolah-olah ia cuma mesin cuci yang sedang menggiling semua
baju mereka. Tidak ada yang penting dari sebuah peristiwa baju-baju kotor yang
berkelindan memutar di antara gelembung sabun dan airnya yang sedikit demi sedikit
menjadi keruh.
Tapi manusia, pikirnya, bukanlah
setumpuk cucian.
Dan bosnya, astaga, bos yang
manis di awal hari kerjanya tahu-tahunya hanya ingin tidur gratis dengannya. Entah
terasa cepat atau tidak, tapi ia merasa semuanya berjalan seperti seharusnya. Tempatnya
bekerja adalah neraka yang membakarnya setahap demi setahap. Dari ujung kaki,
dan kini api itu mulai menjalar dari pusat lambungmu. Kau siap untuk menyiram
bensin di atasnya agar ia lebih cepat menghabisimu.
Teman-teman sekantormu hanya ingin
memperlihatkan betapa menyebalkannya menjadi pekerja kantoran, tanpa ada
tindakan apapun untuk mengentas dari neraka yang mereka anggap rumah sendiri
tersebut. Setelah semua keanjingan itu dijumlah, hasilnya adalah kehidupan
sosialmu hanya menghabiskan waktu dan menghamburkan uang.
Semua alasan itu bisa diringkas
dengan satu kata: depresi. Tapi mereka yang jauh dari kata depresi itu kukira
menghadapi hal yang tak jauh berbeda sehari-harinya. Bedanya yang lain
mengikuti hal-hal tolol seperti kelas yoga, atau ceramah kajian agama serutin
minum obat.
Tubuh butuh nutrisi, hati perlu
siraman rohani, katanya. Bodo amat, pikirku.
Jika hidup ini memang tidak ada
harapan baiknya, kenapa tidak tetap bertahan pada sesuatu? Misalnya harapan
buruknya. Kukira meski menjadi tua tak bisa terhindarkan, bukankah kita tetap
bisa memilih jenis penderitaan apa yang akan terus disimpan dalam lemari hati.
Ngomong-ngomong. Kenapa dia tidak
kabur dari neraka itu lalu bergabung dengan tentara pemberontak atau yang lebih
masuk akal dan juga cukup gila, menjadi relawan di daerah-daerah konflik yang
gersang, tandus, dan penduduknya penuh dengan rasa putus asa penduduknya. Ada
banyak sekali tempat-tempat seperti itu. Ada banyak pula jalan untuk menempuh
semua kegilaan semacam itu selain menamatkan hidup dan membuat orang lain
merasa sedih.
Bagaimana dengan anak-anaknya?
Dan suaminya? Meski ia berengsek, apakah kesedihanya tidak berharga sedikit
pun?
**
Ya, satu jam
lagi mungkin aku akan mulai lemas, darah-darah di semua tempatnya bakal
mengental. Jika itu sudah terjadi aku tidak bisa mengabarimu apa lagi yang akan
kupikirkan, apalagi kutuliskan. Yang pertama terenggut adalah tenaga di tangan kemudian
menjalar ke seluruh tubuhku.
Yang
terpenting surat ini sampai ke tanganmu. Kau bisa bayangkan betapa senangnya
aku mengetahui hal ini akan terjadi. Seperti yang kubilang tadi. Menulis sebuah
surat bunuh diri itu meyenangkan.
Tapi aku
mendadak sedih. Apa orang yang sudah mati bisa merasakan hal semenyenangkan ini?
Aku tidak tahu. Tapi sebentar lagi aku akan tahu.
Apakah di sana akan ada surga?
Saat ini aku kira akan sangat adil jika kukatakan aku akan tahu setelah surat
ini sampai kepadamu, dan sayangnya, aku tidak bisa kembali untuk memberitahukan
apa yang kudapati sendiri di sana. Sampai detik ini aku cuma mau bilang bodo
amat.
Suatu pagi aku tidak tahu
bagaimana orang-orang di sekelilingku mendadak menjadi orang yang asing.
Tempat-tempat yang kutinggali terasa seperti tempat yang baru saja kulihat. Sederhannya
begini. Aku kerap merasa seperti ini, setiap aku bangun pagi, aku mengira
sedang menjadi korban penculikan. Dan para penculik itu berusaha sangat keras
agar aku merasa sedang tidak diculik. Mereka adalah keluargaku. Dan berpikir
mereka adalah orang-orang yang siap membunuh atau memperbudak seluruh waktu
dalam hidupku, pasti bakal terdengar sangat konyol.
Aku tidak tahu sejak kapan itu
terjadi, mungkin tidak lama setelah binatang itu mengenalkanku pada seorang
psikiater.
Sejak itulah setiap pagi mendadak
asing bagiku. Di kepalaku setiap waktu aku mendengar suara-suara bising di
dalam kepalaku. Kadang suara-suara itu terasa jelas mengatakan sesuatu, dan aku
mengerti sebagian isinya. Kadang juga seperti sekumpulan orang yang sedang
berdebat dan saling meneriaki satu sama lain, tapi taka da satu kata pun dapat
kutngkap. Jika itu sudah terjadi, terasa ingin meledak saja kepalaku.
Kadang juga suara-suara itu
terdengar berbisik, menyanyikan sesuatu yang merdu. Hanya saja tidak jelas
seperti apa lirik yang sedang dinyanyikannya. Terdengar seperti gumaman atau bahasa-bahasa
dari tempat yang jauh, tempat yang dingin, tempat yang paling tidak ingin
dikunjungi oleh petualang mana pun. Sebab tidak ada hal baik yang menyenangkan
yang ditawarkan di sana. Tapi aku merasa itu jauh lebih bagus dibanding suara
yang lain. Aku tidak perlu minum obat apa pun hanya untuk jatuh tidur dan
nyenyak.
**
Jatuh cinta adalah salah satu
jenis kegilaan yang tidak ada obatnya. Kata seorang filsuf yang barangkali saat
itu baru saja ditolak cintanya. Ia patah hati, lalu minum sampai mabuk, dan
berharap pujaan hatinya itu menendang kepalanya dengan keras sehingga ia sadar
betapa semua yang dikatakannya selama ini cuma non-sense. Dan ia merasa
semuanya hanya tentang kegilaan-kegilaan.
Dan orang ini, orang yang selalu
kukira akan terus kucari, lucunya hanya dapat kutemukan dalam secarik surat
tolol berantai. Entah sudah hasil fotokopian yang ke berapa yang ada di
tanganku. Sekilas di mataku dapat kulihat terang tulisannya sudah buram, sebab
tampaknya sudah difotokopi berkali-kali. Mungkin sudah fotokopian yang ke dua
puluh atau tiga puluh. Tapi ada jenis mata yang lain yang membuatku merasa
semua huruf-hurufnya, kalimat-kalimat yang ia tuliskan, terasa seperti baru
saja ia tuliskan sendiri, dengan pulpennya sendiri, dengan tangannya sendiri,
untukku.
**
Aku pernah berpikir sedang jatuh
cinta pada seseorang. Rasanya sulit sekali dijelaskan, tapi jika seseorang
mulai sering melakukan hal-hal yang membuat seseorang melakukan banyak hal di luar
kebiasaannya, kukira itu sudah cukup untuk menjadi indikasi seseorang unutuk
disebut jatuh cinta.
Tampak seperti orang gila
sebenarnya sesederhana orang-orang menyebutnya “kamu main-gila sama si itu”
atau semacamnya. Tidak cerdas memang,
tapi cobalah pikirkan ulang, mungkin permisalan ini akan cukup untuk otakmu
yang semoga saja cerdas.
Bos di tempatku kerja adalah
orang yang sedikit tidak membuatku merasa begitu. Kalian pasti tahu laki-laki,
jika sedang ada inginnya mereka akan berlaku lembut seperti selembar kanebo
basah bagi dasbor mobil atau bodi motormu. Namun kita akan tahu apa yang
terjadi dalam waktu yang tidak begitu lama. Kanebo itu bakal kering, bentuknya
keras, tekstur kasarnya mulai tampak, melihatnya saja akan membuatmu sebal.
Perutnya yang buncit tiba-tiba
menjadi masalah, kata-kata lembutnya tiba-tiba seperti sudah dicuri sejak lama,
perhatian-perhatian kecilnya tiba-tiba saja seperti barang-barang kecil yang
mudah dilupakan: korek api yang tertinggal di sebuah bar atau food court
yang membuat pemiliknya merasa tidak perlu kembali untuk mengambilnya lagi.
Tapi apa sih cinta itu? Kamu
pergi ke suatu tempat wisata, lalu kecewa, namun tetap pulang dengan membawa
souvenir dan hadiah-hadiah kecil untuk teman-temanmu di rumah.
**
Kau pernah menceritakan masa
kecilmu, yang menurutmu sendiri itu cukup dijadikan alasan. “Kamu pernah dengar
istilah bipolar?” Aku menggeleng. Kamu menjelaskan lagi soal orang yang
memiliki kepribadian ganda, aku tetap tak terkesan meskipun aku masih mungkin
menampilkan wajah simpati.
Aku sendiri bahkan tidak terlalu
menyukai masa kecilku. Aku menyimppan dendam besar pada orang-orang dewasa di
masa kecilku. Aku berharap mereka hidup baik-baik dan berhenti melakukan
hal-hal yang tai-anjing di masa lalu mereka; hanya untuk menenangkan
perasaanku. Meski sisi lainku ingin
mereka mati menuai amal gobloknya. Mati senaas-naasnya.
Yang jelas tidak ada yang
menyukai hidup dewasa dengan memendam dendam masa anak-anak, kau bercerita
setiap malam adalah usaha untuk memaafkan bapak yang menurutmu tersangka utama
kematian ibu terkasihmu. Ia, katamu, pelan-pelan telah menggerogoti kewarasannya
lalu selanjutnya membunuh ibumu.
Aku ingin dia mati tanpa
sepengatahuan orang lain, di dasar jurang sampai mayatnya habis diurai semut-semut
berselera buruk. Dan isi kepalanya yang bar-bar itu dipatoki burung bangkai,
sementara sisa tulang belulangnya dijilati anjing sampai aus, sampai tidak ada
sisa kecuali batu-batu bisu yang jika bisa bicara pun akan lupa apakah seongok
daging dan tulang-tulangnya pernah ada di sini.
Ia orang yang kasar, dan
menurutmu alam yang perkasa punya kuasa untuk menghukum orang-orang seperti itu.
Alam harus menerkam manusia-manusia kasar nan congkak seperti ayahmu. Aku
menganggguk-annguk takjub, kagum pada imajinasimu soal cara-cara mati yang
paling layak untuk membayar semua dendam yang kau pendam sejak masa kanak dalam
kepalamu.
**
Hal yang sama pula kulihat dalam
diri bapakku ketika aku kanak-kanak. Mulanya ia adalah orang yang memiliki
posisi penting di tempatnya bekerja. Kukira kau pasti tahu bagaimana laki-laki
jika kantongnya lebih besar daripada batok kepalanya.
Ia bakal petentang-petenteng,
menguji apakah dirinya cukup tampan untuk perempuan selain orang yang selalu
tabah bertahan di rumah menyiapkan dan mengurusi semua hal-hal yang ia kenakan,
ia makan, dan hal-hal lain yang seharusnya bisa ia kerjakan sendiri jika ia
tidak terlalu pemalas, atau hatinya keterlaluan sempit, dan isi kepalanya
adalah hitungan puji-puji perempuan yang tidak pernah sekalipun membuat bajunya
tampak licin dan wangi setiap ia masuk kerja.
Kemudian
pertengkaran-pertengkaran kecil, lama-lama semakin berkobar dan sekali dua kali
tak jarang aku melihat luka lebam di wajah ibuku. Tak ada yang bisa kulakukan
untuk menolongnya. Menjadi anak-anak yang bisa menahan tangis saat jatuh dari
sepeda saja, aku harus berusaha ekstra keras.
Ibu, diam-diam kerap kulihat
sering menahan isak tangisnya. Kadang dapat kudengar rintihan-rintihannya yang
ia jepit di sela tangisnya. Aku tahu luka di wajahnya memang tak seberapa, tapi
tak dapat kuukur seberapa lebar luka di dalam batinnya. Dengan cara menangis
seperti itu, aku ragu jika aku bisa menyelamatkannya dalam waktu dekat, atau
tidak sama sekali.
Aku tidak dapat ikut menangis
hanya untuk meringankannya. Ibuku, oh ibuku, tidak ada hal yang paling kucintai
sekaligus kubenci selain ia. Aku marah sebab tak pernah kulihat luka yang sama
di wajah ayah. Aku marah sebab ibuku tak pernah lagi kulihat lebih menyedihkan
dari pada sebelum-sebelumnya.
Oh, iya. Kukira cukup sudah
ceritaku. Sekarang kita ke bagian yang paling menyenangkan. Setelah surat ini
sampai kepadamu, aku ingin kamu menggandakannya sebanyak 20 kopi dan
mengirimkannya ke 20 alamat orang yang paling kaubenci. Cukup itu. Ini wasiat
orang yang sudah mati. Kini kurasakan darahku mulai mengental, tanganku mulai
terasa keram, perutku mual tidak karuan, dan kepalaku, astaga kau bisa bayangkan
sepuluh anak trengggiling yang tadinya sedang meringkuk, kini terbangun dan
menggeliat dalam batok kepalamu, seperti itulah yang kurasakan di kepalaku.
Salam.
Komentar
Posting Komentar