Jangan Pernah Menyalakan Radio Sendirian



Aku mendengar cerita ini dari sahabatku Karina. Cerita ini ia ceritakan sejak jauh hari yang lalu, sekitar satu tahunan sebelum kabar terakhirnya kudengar dengan cara yang tidak menyenangkan. Bagaimana kau bisa senang jika seseorang yang pernah sangat penting bagimu dikabarkan baru saja ditangkap sebagai tersangka utama kasus mutilasi sepasang pengantin baru. Jadi kutegaskan sekali lagi, sebenarnya ini bukanlah jenis cerita yang bagus untuk dituliskan, atau diceritakan ulang kepada teman-teman.
Tidak ada alasan khusus kenapa aku musti menceritakan ini padamu. Tapi saat ini aku sedang berada dalam sebuah terowongan tol C dalam perjalanan dari kota B menuju kota P. Dan di sinilah kesalahan pertamaku, karena melanggar janji yang sudah kusepakati dengan Karina sekitar setahunan yang lalu.
“Jangan pernah menyalakan radio tanpa aku.” Katanya setahun yang lalu. Aku mengangguk, sepakat.
**
“Aku sebenarnya sedang sedih…”
“Aku juga.”
“Lah! Kok kamu juga? Memangnya kamu kenapa?”
“Karena kamu sudah mau curhat. Hehe.”
“Sialan. Aku serius. Aku kan gak punya temen curhat lagi selain kamu.”
“Oke. Kali ini soal teman kantormu lagi?” Tanyaku menggodanya. “Kenapa gak kamu pacari saja sekalian?” Lanjutku.
Dia tidak menjawab apa-apa, dan langsung menyalakan radio. Aku tidak terlalu memperhatikan apa yang sedang kami dengarkan. Ini stasiun yang biasa memutar lagu-lagu pop lokal diselingi informasi macet yang menurutku tidak terlalu berguna. Tampaknya dia juga seperti biasa tidak terlalu memperhatikan stasiun apa yang sedang kami putar.
Ia melempar pandangannya ke luar jendela. Menurutku tidak ada apa-apa yang menarik untuk dipandang di sana selain ban mobil lain atau plat nomer truk. Tapi aku kira dia sedang memikirkan sesuatu, seperti dari mana ia akan memulai sesi curhatnya kali ini.
Satu menit kiranya ia tak mengeluarkan suara apapun. Kuduga ini pastilah hal terberat yang ingin ia ceritakan. Mungkin tentang seseorang yang sejak lama ingin ia ceritakan, namun sering ia tunda setiap kali akan ia ceritakan padaku. Sejauh ini aku tak pernah mendesaknya, sebab kukira tak ada gunanya mendesak seseorang yang belum siap mengatakan apa-apa. Tidak ada gunanya menimba di sumur yang kering.
Dua menit kemudian ia masih menahan semuanya dalam kepala, aku merasa mulai tidak nyaman. Biasanya jika ia batal curhat sesuatu yang berat ia bakal mengalihkan pembicaraan pada hal-hal lain yang kami suka. Tempat-tempat minum kopi, barista-barista yang kami kenal, dan beberapa film yang kami rencanakan akan kami tonton begitu akhir pekan tiba.
Kini sudah berlalu tiga menit dan ia masih melihat ke arah yang sama. Juga aku tidak melihatnya memejamkan mata dari waktu ke waktu. Tiga menit orang duduk dalam posisi yang sama menurutku sedang menyimpan banyak hal, atau yang lebih buruk sedang dicabut rohnya pelan-pelan.
“Menurutku, kamu tidak boleh mati dengan cara seperti itu di mobilku. Itu bakal jadi kejadian yang paling tidak enak dalam hidupku. Juga belum tentu jadi cara mati yang aduhay untukmu.” Kataku berusaha melucu.
“Oh ya,” ia seperti tergeragap dari lamunan, “ngomong-ngomong kamu punya channel radio favorit, tidak?” Aku menggeleng.
“Selama ini yang sering ngutak-ngatik radio kan kamu.” Kataku setengah jengah sebab bertahun-tahun kami berteman ia tak sadar kalau aku lebih suka menyetir tanpa memutar apapun. Sehingga aku bisa fokus mengemudi. Kecuali jika aku sedang liburan akhir pekan bersamanya seperti saat ini.
“Ya ampun. Maafkan aku. Aku baru sadar dari sejak kamu punya mobil ini, ternyata aku yang sering punya inisiatif nyetel radio.”
“Akhir-akhi ini kamu suka sekali dengar radio ya?” Tanyaku.
“Menurutmu?” Tanyanya balik. Aku mengangkat bahu: “Aku tidak tahu pasti. Kamu memang sering nyetel radio, tapi kamu tidak terlihat menikmatinya sama sekali. Kamu menyalakan radio dalam volume yang terlampau pelan. Kadang yang kamu putar stasiun yang memutar lagu pop, kadang malah wayang, kadang dangdut, atau apa saja. Seolah-olah kamu hanya ingin memutar radio saja. Lainnya tidak penting.”
“Terserah kamu aja deh.” Ia beringsut dari posisi pertamanya, dan segera mematikan radio.
“Kamu sedang ngambek?” Aku menoleh ke arahnya. “Tidak.” Lalu mengambil camilan di kursi belakang dan kini mengambil posisi duduk tegak, semuanya ia lakukan dengan gestur yang dingin dan sama sekali tidak membalas tatapanku. Aku merasa bersalah dan menyalakan radionya lagi. Ia bergeming dengan camilannya. Dan matanya memejam.
Mobil belum bisa bergerak leluasa. Terjebak macet di terowongan, bukanlah hal yang menyenangkan. Meski masih ada lampu-lampu di dalamnya, siapaun mungkin akna panic jika digoda pertanyaan: bagaiamana kalau ada gempa bumi, atau serangan Korea Utara, mau lari kemana coba?

“Ini tempat yang sama waktu ia meminta pendapatku, soal pisah secara baik-baik.” Ia memulali ceritanya.
“Se-ca-ra-ba-ik-ba-ik.” Ia mengejanya, persuku-kata dengan bibir tersenyum mencemooh, sambil menghembuskan sedikit angin dari hidungnya. Sebuah ekspresi mencibir dan perasaan jijik luar biasa. Lalu mulai mengambil sejumput cemilan dari bungkusnya, dan mengunyah lagi dengan tenang. Kupikir ia sedang meredam amarah yang menyumput di antara geliginya.
“Kamu tahu apa lagi yang kudengar dari mulut gombalnya?” Ia mulai membuka matanya, dan mengarahkannya padaku. Jalan di depan masih macet, jadi kutatap balik pandangan matanya. Aku menggeleng meski tahu pertanyaannya tidak meminta jawaban apapun.
“Dia bilang begini…” sambungnya sambil berusaha menyamankan posisi duduk, lalu membusungkan dada dan mengangkat lehernya. Beres begitu ia merapikan sebagian rambut yang melintasi bagian depan bahunya, lalu berdeham tiga kali.
“Sekarang. Kita bisa kosongkan lagi perasaan masing-masing. Artinya tidak ada apa-apa lagi di antara kita.” Ia berusaha mengatakannya dengan suara bariton yang gagal, maksudnya menirukan suara orang yang ia ceritakan.
“Pffftt! Tai!” Sahutku spontan.
Dia tergelak dan tertawa lebih dulu, keras sekali. Aku menyusulnya kemudian, tapi tidak sekeras tertawanya. Kukira kami tertawa untuk sesuatu yang berbeda. Ia mungkin tertawa sebab betapa tololnya kalimat itu kedengarannya. Sedang aku tertawa karena sebab yang tidak kumengerti.
Isi dadaku tiba-tiba saja rasanya memanas. Di dalam diriku seorang laki-laki sedang menyalakan api unggun, sendirian.
“Kamu tahu tidak, apa yang bikin aku jengkel setengah mati?” Tanyanya.
Ada yang menambahkan potongan-potongan kayu kering dan baru pada api yang baru saja menyala.
“Dalam terowongan itu ada serangan alien?” Setelah ia tertawa selepas tadi, sekarang aku punya keberanian untuk mengguyoninya. Dia tergelak tapi tak sekeras yang pertama dan menambahkan, “dia bilang, kalau kami jodoh, kami pasti akan bertemu lagi. Ya ampun klise banget tahu gak sih. Semua orang juga sudah tahu kalau jodoh sudah ada yang mengatur, tanpa perlu dibilang juga.”
“Jadi waktu itu kalian putus?”
“Aku diputusin, maksud kamu?” Aku mengangguk meyakinkannya bahwa aku tak salah bicara sambil merasa heran kenapa dia musti mengulang dan menjelas-jelaskan pertanyaanku.
“Ya tentu saja tidak, kami bahkan belum pernah jadian.”
“Apa yang kamu lakukan setelah itu?”
Ia bercerita saat itu serasa terowongan menyempit dan membuat dadanya terasas sesak dan ingin meledak. Ia sangat ingin membuka pintu mobil lalu berlari keluar, memastikan apakah matahari masih ada di luar sana, bekerja sebagaimana biasanya.
“Sudah seumur hidup… eh maksudnya udah lama kami bersama. Tiba-tiba dia bilang hal tolol semacam saling mengosongkan perasaan. Kan tai.”
Aku masih menyimaknya. Aku sering berpikir selama ini di antara laki-laki dan perempuan, terlepas dari persoalan bias gender, sebenarnya siapakah yang paling menguasai bahasa?
“Sejak itu kamu jadi suka menyetel radio?”
Dia mengangguk. Posisi duduknya menggelosor lesu. “Aku menyalakan radio, untuk menenangkan badai dalam diriku.” Katanya lagi.
Laki-laki di dalam diriku mulai sadar api mulai membesar perlahan-lahan, dan dia mulai beringsut sedikit ke belakang dari posisi duduknya semula.
“Dia cinta pertamaku, meski itu terdengar tolol. Aku cuma tahu itu istilah yang tepat untuk menggambarkan posisi dia buat aku.”
Ada yang menambahkan bensin ke dalam api unggun itu…
“Siapa nama cowok itu?” Tanyaku sekadar tak ingin ia berhenti menumpahkan semuanya, meski aku tak akan pernah siap mendengar semuanya.
“Tidak ah, aku malu.” Dia menggelendot manja. Mengguncang bahuku dan mencubit lenganku.
“Adit?”
“Bukan!”
“Ipto?”
“Pokoknya, bukan.”
Macet mulai mengurai. Perjalanan masih sangat jauh dan aku merasa tidak punya bahan bicara lagi. Aku naikkan volume radionya sedikit lebih keras.
“Aku?” Iseng.
“Ya jelas bukanlah.”
Laki-laki dalam diriku merasakan api unggun yang ia nyalakan semula terasa terlalu besar untuk dirinya sendiri. Sehingga dia khawatir angin akan memercikkan bara kea rah tenda, kemudian membakar satu-satunya tempat berlindung; yang terbuat dari bahan mudah terbakar. Haiss… tidak ada yang tahan bakar ternyata.

Kemudian ia mengatakan sesuatu tentang niatnya untuk pergi ke tempat jauh. “Kali ini niatku bulat. Dan ini sebenarnya inti curhatanku, dan jawaban dari pertanyaan kenapa aku bawa koper kayak orang mau naik haji.”
Tenda itu mungkin sudah terbakar, dan lelaki dalam diriku masih berharap hal lain, meski itu tidak aka nada gunanya. Ia berharap kali ini angin tidak membawa tenda ini ke tempat di mana semak-semak kering bergerombol; tempat di mana alam kemungkinan besar menyembunyikan siasatnya yang berbahaya untuk membakar hutan yang selalu basah dan menimbulkan iri hati rerimbunan kering yang lain.
Aku tak bisa mengucapkan apa-apa lagi selain agar ia baik-baik di mana pun berada. Dan yang paling penting kami tetap menjaga komunikasi, dan agar ia tidak sungkan-sungkan meminta pertolongan apapun. Ia berterimaksih, lalu mengecup pipiku, aku tersenyum balik padanya. Ia kembali ke dalam lamunannya. Aku sendiri memikirkan bagaimana caranya keluar terowongan tanpa mencelakakan siapapun.

**
“Bagaimana menurut kamu?” Tanyanya.
Aku mengangguk-angguk, memonyongkan setengah bibirku, bersikap seolah ia baru saja mengusulkan tempat makan tertentu. Dalam gerak angguk-mengangguk itu kugoyang sedikit juga kaki-kakiku, sehingga hampir seluruh badanku bergoyang pelan, sambil menoleh ke arahnya sekilas-sekilas.
Kuarahkan mataku ke balik tembok-tembok kaca bandara, memandang pesawat parkir, lepas landas, dan mendarat. Sekali-kali kubayangkan betapa beruntungnya aku jika salah satu pesawat tersebut telat memijak rem, lalu menabrak kami semua di sini. Aku tidak suka menjadi gugup dan tampak gemetar di hadapan Karina.
“Bagaimana menurut kamu?” Dia menanyakannya ulang, dan memintaku mengatakan sesuatu soal foto selfie kami, selain hanya mengangguk-angguk dan menggoyangkan badan tanpa tujuan.
“Bagus, aku suka.”
“Ah kamu mah, apa aja selalu bilang suka.” Matanya mengerling genit.
Aku menanam senyum di bibirku sendiri untuk membungkam kalimat tolol yang hampir lolos dari tenggorokan dan keluar dari mulutku. Kalimat yang jika seseorang mendengarnya, atau membacanya di suatu tempat akan menerbitkan tawa semua binatang yang masih hafal betul apa alasan manusia diciptakan selain karena kerentanannya menghadapi persoalan pelik, kemudian kebiasaannya memutuskan untuk melakukan hal-hal yang teledor sehingga membahayakan dirinya sendiri.
Jika kalimat itu dituliskan di sini kira-kira bakal berbunyi begini: aku selalu suka sama kamu, selalu. Tolol bukan?

“Berapa lama kamu di Denpasar?”
“Tidak lama, santai sajalah. Tapi selama aku di sana, aku ingin kamu janji satu hal…” Ia memasang wajah serius.
“Okey, apa itu?” Tentu saja aku tidak ingin serius.
“Jangan pernah menyalakan radio tanpa aku.”
“Jangan pernah menyalakan radio sendirian.” Ulangku menirukan permintaannya sekitar setahun yang lalu. Aku menyalami tangannya, ia balas memelukku rapat sekali dan mencium pipiku agak lama. Kami sepakat. Pesawat sebentar lagi berangkat.
Angin menerbangkan percikan api ke arah semak-semak kering, dan perlahan-lahan membakarnya.
**
Tidak ada alasan khusus kenapa aku musti menceritakan ini padamu. Tapi saat ini aku sedang berada dalam sebuah terowongan tol C dalam perjalanan dari kota B menuju kota P, dan di sinilah kesalahan pertamaku, karena melanggar janji yang sudah kusepakati dengan Karina, sekitar setahunan yang lalu.
Saat liburan akhir pekan yang terakhir, pelukan terakhir, ciuman di pipi yang terakhir.
Apa yang baru saja kuceritakan padamu merupakan sebagian kecil dari yang bisa kuceritakan, dari sisi lain yang belum kau kenal dari sahabatku Karina. Cerita ini ia ceritakan jauh hari yang lalu, sekitar satu tahunan sebelum kabar terakhirnya kudengar dengan cara yang tidak menyenangkan.
Salah satu korban mutilasi AD (35) adalah kakak kandung sang pelaku KD (24) sendiri. AD yang baru saja menikah sebulan yang lalu ditemukan dengan bagian-bagian tubuh yang terpisah, sementara istrinya, MU (22) masih dalam pencarian. Sampai saat ini, belum ada keterangan lebih lanjut mengenai pencarian korban kedua. Kasus ini menurut keterangan Kepolisian bermotif kecemburuan sang adik terhadap kakak lelakinya yang baru saja menikah.
Saat ini aku sedang sendirian dalam terowongan tol C, menempuh perjalanan dari kota B menuju kota P. Di sinilah kesalahan pertama dan semoga saja yang terakhir kalinya. Sebab melanggar janji yang sudah kusepakati dengan Karina sekitar setahunan yang lalu. Libur akhir pekan yang terakhir, pelukan terakhir, ciuman terakhir, mendengar radio bersamanya yang terkahir
“Jangan pernah menyalakan radio sendirian.”
Sebuah hutan terbakar hebat, seorang lelaki dalam diriku berharap ikut terbakar bersamanya.
Purwakarta, 14 September 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Strategi Menulis yang Menyesatkan

Sisi Lain Kota P

Seekor Kura-kura yang Keterlaluan Bijaksananya Sedang Berjalan ke Arahku dari Tempat yang Sangat Jauh