Buku dan Kutukan
Seorang mahasiswa ditemukan tewas di kamar kosnya setelah dilaporkan tiga hari tak pernah terdengar apapun, dan tak pernah tampak aktivitas apapun di sekitar kamar indekosnya. Sekelompok pemuda di bawah komando induk semang mendobraknya setelah pelan-pelan mencium bau tidak enak yang terasa kuat dari arah kamar ujung. Begitu pintu itu terbuka pemuda-pemuda yang tadinya sangat bersemangat ini melongo dan menyesali apa yang baru saja mereka perbuat. Sama sekali bukan pemandangan yang sedap untuk dikenang sebelum mereka menutup mata di malam hari.
Dugaan sementara, itu merupakan
bunuh diri, ia ditemukan terkapar dengan mulut menganga dan berbusa, mata
melotot, dan tubuhnya yang setengah duduk setengah berbaring dengan tangan
terentang. Dia baru saja mati sehari sebelumnya.
Di temboknya tertulis…
Aku tak akan pernah bisa
membaca semua buku yang kuinginkan; Aku tidak akan pernah bisa jadi orang yang
kuinginkan dan menjalani kehidupan yang kuinginkan. Aku tidak akan pernah bisa
melatih diri dalam semua keterampilan yang kuinginkan. Dan mengapa aku ingin?
Aku ingin hidup dan merasakan semua nuansa, nada, dan variasi pengalaman mental
dan fisik yang mungkin dalam hidupku. Dan aku begitu terbatas. (Plath)
Tulisan itu ditulis dengan tangan
menggunakan spidol besar, seolah-olah ia sengaja membelinya terlenih dahulu.
Seorang mahasiswa sastra Indonesia, tidak punya rekam jejak sebagai aktivis
memiliki spidol seperti itu, pastilah itu semacam memo bunuh diri.
Sebagian busa yang keluar dari mulutnya
tampak sudah mengering. Di samping tempatnya terkapar ditemukan segelas cola
yang telah dicampur larutan obat nyamuk.
Seperti yang kubilang, dengan
temuan seperti itu bakal mudah sekali menyimpulkan penyebab dan cara
kematiannya: keracunan, gagal jantung dalam sebuah upaya bunuh diri. Dab bagian
yang paling disuka orang-orang: do mejanya terletak buku itu.
Buku itu mengandung kutukan,
seharusnya kita menyingkirkannya sejak kasus pertama terjadi kata teman
kerjaku. Jadi ada ‘korban’ lain ternyata. Dan soal kutukan buku ini, sepertinya
sudah dianggap pembicaraan penting, setidaknya oleh geroombolan manusia
intenet. Masyarakat paling tanggap yang pernah ada. Mereka seperti anjing
pengendus yang tangkas, mencium bahaya dan buruan dari jarak ratusan mil
jauhnya.
Sementara orang-orang yang
keterlaluan budimannya dalam memberikan komentar ini sibuk menyimpulkan hal-hal
yang perlu dilakukan untuk melawan buku penuh kutukan atau sekedar mulai
berlagak menjadi pakar kejiwaan dan agama. Aku masih merasa sesak membayangkan
bagaimana mahasiswa yang sekilas dari fotonya tampak baik-baik saja ini menanti
detik-demi detik sebelum ia meregang nyawanya.
Menurut buku panduan bunuh diri
yang pernah kubaca beberapa kutipannya di internet, bunuh diri dengan cara ini
benar-benar merepotkan. Maksudku, semua bunuh diri memang merepotkan banyak
pihak selain dirinya sendiri, tapi ada beberapa cara yang lebih baik dan
efektif. Menenggak racun bukanlah salah satunya.
Peminum racun itu akan mati dalam
waktu yang cukup lama, bisa lebih dari satu jam. Semua memang tergantung dari
racun apa yang diminum. Namun umumnya peminum akan merasa sakit luar biasa di
perut, mual-mual, dan diare. Sakit kepala luar biasa yang dialaminya bisa jadi
sakit kepala terburuk yang pernah menyerangnya, belum lagi hal itu diiringi
dengan tubuhnya yang perlahan-lahan melemas, sehingga terasa super berat sebab
darahnya yang mengental. Nasib baik jika dia mulai merasa terbersit untuk
meminta pertolongan. Tapi, sekali lagi, tubuh yang lemas, begitu lemasnya akan
sangat sulit melakukan itu.
**
Aku membaca sekali lagi basis
data peminjam buku di komputer kantor.
Data yang juga baru saja diminta oleh seorang berpakain seragam polisi. Untuk
kepentingan investigasi. Petugas itu juga meminta semua kopi dari buku
tersebut sebagai barang bukti dan uji lab.
Di database tersebut tercatat lima
belas eksemplar The Unabridged Journals of Sylvia Plath. Tiga buku tidak
kembali, dan menjadi binga pembicaraan soal ‘kutukan’ tersebut. Sisanya baru
saja dibawa petugas tadi. Tahu bakal begini yang terjadi, harusnya aku mencurinya
satu eksemplar. Aku sendiri ragu apakh punyaku masih ada atau sudah entah di
mana. Aku sendiri punya satu, entah di mana aku meletakkannya. Semoga saja masih
ada. Tapi di mana aku meletakkannya?
Sialan.
Ini kasus ke lima dan kukira aku
akan bersenang-senang bermain
detektif-detiktfan. Aku punya banyak waktu untuk sekadar menyibukkan diri
menelusuri empat pembaca naas yang lain.
**
Aku memiliki pilihan untuk
aktif dan senang tanpa henti atau pasif dan sedih bermawas diri. Atau aku bisa
jadi gila karena memantul di antara keduanya. (Plath)
Dua bulan yang lalu, seorang
laki-laki muda, berusia 23 tahun ditemukan bunuh diri dengan melompat dari
apartemenya di lantai 13. Ia seorang pekerja di sebuah pabrik tekstil, sudah lima
tahun ia bekerja di sana. Ia meninggal dengan berbagai luka patah tulang yang
parah dan gegar otak yang sama seriusnya. Dan meninggal dunia dalam perjalanan
ke rumah sakit.
Dua jam sebelumnya ia menuliskan
bagian pendek dari buku tersebut.
Ada banyak sekali komentar di
laman berita yang sedang kuakses. Semuanya membosankan, merasa paling mengerti
agama, merasa paling mengerti pergolakan batin manusia, tapi tetap saja yang
menarik di ikuti adalah iman-iman yang berkembang di dekitar berita tersebut.
Selain kutukan buku tersebut, satu hal lagi yang mereka tambahkan, angka 13,
angka sial. Semua orang tahu. Tapi benar-benar jenis pengetahun yang tidak
berguna.
Pamannya memebrikan kesaksian sejak
kejadian pengusiran di kampungnya, kemudian disusul kematian adik perempuannya,
ia mengalami gangguan kejiwaan yang serius.
Artikel berita itu hanya berhenti
di situ.
Sebuah kebenaran, kadang-kadang
tidak perlu akurasi. Ia hanya perlu terjadi minimal lebih dari dua kali untuk
lolos dari sebutan anggapan tolol atau tahayyul. Persoalan angka dan mitos baru
dari buku ini sudah, sebutlah… memakan korban lebih dari seorang. Menyebut
kutukan buku ini ini hanya isapan jempol pastilah merupakan asumsi yang sama
sembrononya dengan meributkan apakah buku ini mengandung kutukan atau tidak.
Dalam beberapa kasus, cara ini
sering dipakai sebab tampak lebih efektif dari pada menenggak racun atau
memotong urat nadi. Tetapi diperlukan bagi si pelompat untuk memperhitungkan
banyak hal sebelum menjatuhkan diri. Pertama ia mesti mempetimbangkan jarak
ketinggian posisinya melompat. Sekurang-kurangnya, jarak terbaik adalah dua
puluh meter atau setara dengan gedung lima lantai.
Pelompat juga musti memastikan
jika dasar lantai terbuat dari bahan keras, seperti aspal, semen, atau beton.
Lantai dari tanah, air, sungai, atau rumput, apalagi yang ada pohonnya harus
dihindari karena akan meredam benturan. Dan efeknya tidak akan sesuai dengan
niatan awal; mengakhiri nyawa.
Dan yang lebih penting juga agak
merepotkan, pelompat musti memiliki setidaknya beberapa keterampilan yang biasa
dimiliki atlit loncat indah. Baiklah ini memang terkesan bercanda, tapi menurut
buku panduan bunuh diri yang pernah kubaca, kau harus bertanya langsung, atau
setidaknya perhatikanlah bagaimana para pelompat indah itu bekerja keras, untuk
membuat tubuhnya terjun dengan bagian kepala berada di bawah.
Tanpa keterampilan seperti itu
justru akan membuat masalah. Sebab berat kepala lebih ringan dari tubuh
sehingga kepala cenderung terdorong ke atas pada saat melayang di udara. Ingat
dua puluh meter bukanlah jarak yang pendek.
Posisi yang tidak sempurna dan
tanpa perhitungan yang teliti akan menyebabkan pelompat tidak mencapai
tujuannya begitu ia benar-benar sampai di lantai dasar. Dalam beberapa kasus
sering didapati pelompat masih bernafas satu hingga sepuluh menit setelah
terjun. Sering pula dijumpai para pelompat tersebut berusaha menggerak-gerakkan
tubuhnya, mengerang, bahkan berteriak sekalipun tulang-tulangnya remuk, dan ini
tentu sangat menyakitkan. Dan bisa-bisa ini hanya akan memperpanjang
kehidupannya dengan bonus cacat di sana-sini dan tentu saja rasa sakit yang
teramat sangat. Itu semua belum ditambah
dengan biaya rumah sakit. Aku ragu perusahaan asuransi menebus biaya pengobatan
mereka yang melompat dari atas gedung.
**
Suatu hari, Tuhan tahu kapan,
aku akan menghentikan kesia-siaan absurd, perilaku mengasihani diri sendiri,
kemalasan, keputusasaan ini.
Seorang remaja muda berinisial IS
(21) dituliskan oleh berita dari situs yang sama masuk dalam sebuah video yang
viral, sedang menabrakkan ke kereta, tepat di sebuah palang kereta, di depan
mata orang-orang yang akan mnyebrang.
Dalam tasnya didapati beberapa
obat-obatan, sebuah jurnal, beberapa buku tabungan, sebuah dompet, dan buku
yang sedang ita bicarakan terdaftar milik perpustakaan tempatku bekerja. Dan di
mendai baris tersebut dengan stabile.
Oh ya, kejadian ini terjadi pada
tanggal 13.
Aku merasa tidak perlu lagi
mengamati komentar yang lain, kukira aku perlu membuka facebook dan melihat
apakah orang-orang membicarakan kutukan buku ini, atau tiba-tiba mereka sudah
punya obrolan baru yang lebih panas dan membuat mereka sanggup mempertahankan
perilaku berlagak pakar ini jauh lebih lama.
Aku letakkan buku milikku
tersebut di depan komputer kantor. Aku sudah memberikan sampul kertas kado,
agar kawan kerja yang lain tidak membincangkan hal-hal kutukan atau semacamnya.
Atau diam-diam, jauh dalam diriku aku mulai percaya, buku ini mengandung
ketakutan sehingga aku takut.
Ada tiga peminjam sebelumnya.
Semua peminjaman dilakukan dalam durasi satu minggu tersebut. Ada dua fakta
yang menganggangguku, bagaimana sebuah buku mampu menggerakkan seseorang untuk
menghabisi nyawanya sendiri. Dan yang kedua..
Tak ada harapan untuk “jadi
hidup” jika kau tidak menulis catatan. (Plath)
Kukira aku bisa melanjutkan semua
penelusuranku lebih jauh, sampai akhirnya kudapati seseorang yang sangat
kukenal di masa yang sangat lampau muncul lagi di beranda facebook, setelah
sekian lama tidak pernah kudapati apapun di facebooknya.
Seperti yang dia bilang
sebelumnya, dia bermigrasi ke media sosial lain, untuk menghindari
orang-orang cerewet dan tolol. Begitu kiranya yang ia tulis di media sosial
berbasis gambar, yang ia pilih sebab menuntutnya lebih berhemat kata, mempertajam
pikiran, dan kepekaan hati terhadap foto dan gambar.
Sementara aku, persetan, aku
merasa malas bertemu seseorang (bahkan jika itu hanya di media sosial) yang
membuatku merasa diguyur seember air es saat sadang tidur pulas.
Kata-kata itu mungkin saja tidak familiar,
tapi bukankah nama Plath mulai masuk pencarian teratas di website mesin pencari
minggu-minggu belakangan ini?
Sampai kemudian aku merasa yakin
di mana kalimat ini berada. Halaman 13! Tak ada harapan untuk “jadi hidup”
jika kau tidak menulis catatan. Aku segera berkunjung ke laman profilnya.
Dan… inilah yang kudapati dia posting selama seminggu terakhir…
Aku terlalu
menyukai orang atau tidak sama sekali. Aku harus turun lebih dalam, menjatuhkan
diri ke orang tersebut, untuk benar-benar mengenal mereka.
Aku menginginkan
hal-hal yang akan menghancurkanku pada akhirnya.
Aku tidak
percaya kalau Tuhan sebagai seorang ayah yang baik di langit sana. Aku tidak
percaya bahwa kelemahlembutan akan mewarisi bumi: kelemahlembutan diabaikan dan
diinjak-injak. Mereka terurai di tanah berdarah karena perang, bisnis, seni,
dan mereka membusuk dalam tanah hangat di bawah hujan musim semi.
Jika aku tidak
berpikir, aku akan jauh lebih bahagia; jika aku tidak memiliki organ seks, aku
tidak akan goyah di ambang kegugupan dan berurai air mata sepanjang waktu.
Mengapa aku
terobsesi dengan ide bahwa aku dapat membenarkan diri lewat menerbitkan naskah?
Apakah ini sebuah sikap melarikan diri – alasan atas kegagalan sosial –
sehingga aku bisa bilang, “Tidak, saya tidak keluar ke banyak kegiatan
ekstrakurikuler, tapi saya menghabiskan banyak waktu menulis.”
Jadi aku
diarahkan pada satu atau dua pilihan. Dapatkah aku menulis? Bisakah aku menulis
jika aku cukup berlatih? Berapa banyak yang harus aku korbankan untuk bisa
menulis, sebelum aku mengetahui kalau aku memang bisa?
Apakah siapa
saja di mana saja bahagia?
Aku harus siap diguyur es kali
ini. Tidak peduli jika air es kali ini bakal jauh lebih dingin. Kuarahkan
kursorku ke menu chat. Dia online. Sudah kuduga.
Hai, apa kabar?
Hai, juga. Sehat, kamu?
Aku baik-baik aja.
Baik-baik aja, atau gini-gini
aja?
Hahaha. Apa bedanya? Dia
pasti sedang bercanda, aku tidak mau merusaknya.
Nah itu dia, gak ada bedanya.
Sesuatu sedang berlangsung tidak
baik. Aku mulai merasa di dalam kepalaku perlahan-lahan adalah cuaca buruk yang
sedang pelan-pelan merayap.
Are you okay?
Menurutmu?
Aku sedang mengikuti
kasus-kasus Plath di internet, tiba-tiba aku jadi ingat sama kamu. Balasku
mengalihkan pembicaraan yang tidak baik—sebab aku mulai merasa menutip Plath di
saat seperti ini, pastilah menandakan sesuatu.
Oh ya! Kamu masih simpan buku
itu kan? Pas sekali! Aku pinjam ya.
Anjing. Seseorang kupikir baru
saja menyiramkan segelas kopi yang sedang panas-panasnya ke celanaku. Tepat di
selangkangan. Aku segera berdiri dari kursiku.
Kupikir, aku harus beranjak
sekarang juga.
Sepanjang jalan aku bermotor
dengan perasaan tidak nyaman. Entah hal apa yang lebih membuatku cemas, disiram
air es seember, atau sesuatu yang lain yang ada di dalam tas punggungku dan
hal-hal yang baru saja kutemui di laman facebooknya, juga soal kutukan buku
itu. Sialan. Ini menyebalkan sekali. Memikirkan saja membuatku merasa tidak
enak.
Sebuah truk kontainer besar
depanku berjalan perlahan, dengan kecepatan sepertu itu, dan jarak yang kupikir
tidak terlalu panjang, harusnya aku bisa menyalipnya dengan mudah. Tapi
mengingat apa saja yang mungkin pernah terjadi di antara ban-ban raksasa itu,
membayangkan seseorang yang kepalanya tidak jauh beda dari telur ayam yang tak
sengaja kau jatuhkan. Dan seseorang yang meminjam buku itu. Aku bergidik ngeri.
Apakah bulu kudukku sedang
meremang? Tahi!
Komentar
Posting Komentar