Semua Pencerita yang Buruk, Mendapat Balasan yang Buruk
Michael Mcconnell illustration |
Karim Hasibuan,
pria separuh baya yang semoga saja masuk dalam daftar sepuluh orang pertama
yang nyawanya lepas dari dunia dengan cara yang buruk. Seperti kaleng penutup
botol minuman yang kau cungkil dengan paksa menggunakan salah satu sisi meja
yang curam, atau paku yang dipasang miring di sudut warung makan langgananmu.
Ia sudah enam
semester memaksa kami melewati semua neraka ini. Menit-menit panjang di tempat
lain, di sini berarti ratusan tahun lamanya. Tempat-tempat di mana
cerita-cerita buruk berasal. Cerita-cerita yang dipaksakan menadah amanat, pesan
moral, dan podol kucing lainnya.
Seseorang harus
melakukan sesuatu, sebuah tempat seburuk ini paling tidak harus diberangus
perlahan-lahan. Dimulai dari orang-orangnya, katamu. Harus ada orang pertama
yang tahu bagaimana rasanya jika nyawanya dicungkil seperti kaleng penutup
botol sebab istiqamah menceritakan kisah-kisah buruk yang serba tanggung.
Kamu haqqul
yaqin jika cerita adalah media yang bagus untuk membangun keyakinan baru,
setelah meruntuhkan keteguhan-keteguhan lama yang menjemukan. Jika sebuah
cerita, atau dalam hal ini cerita-cerita tersebut tak pernah sanggup melakukan
peran penting tersebut, dan alih-alih malah menjadi khutbah jumat yang
membuatmu kerap mengantuk, itu artinya ada yang sedang bermain tuhan-tuhanan, pemberhalaan.
“Demi tuhan yang
menggenggam jiwaku di tanganNya,” katamu bersumpah, “semua berhala perlu
dirobohkan.” demi melegitimasi pandangan ini kamu siap merobohkan berhala
pertama: Karim Hasibuan, salah satu pencerita yang buruk.
**
Pembantu
keluarga Karim Hasibuan kabur tiga hari yang lalu dengan pacarnya, Kasno
Duadji, supir pribadi Karim Hasibuan. Mereka pergi dengan beberapa barang
berharga milik istri Karim Hasibuan yang belum kamu tahu namanya. Cerita hanya
sampai di situ, selebihnya ia hanya mengumumkan sesuatu yang menunjukkan
seberapa dangkal sungai pikiran dalam kepalanya. Karim Hasibuan tidak memerlukan
pembantu untuk beberapa waktu ke depan. Siapa yang perlu tahu?
Karim Hasibuan
bicara panjang lebar persoalan manusia dan mengaitkannya dengan cerita-cerita
kitab suci. Setelah ia memberitahukan rasa traumanya merekrut pembantu dan
sopir baru. Ia memberi semacam wejangan, ia menyebutnya hikmah, intisari, dan
pesan moral. Karim Hasibuan menyebut tiga-tiganya demi mengatakan apa yang akan
kukutip darimu.
Tiga hari yang
lalu Karim Hasibuan berdiri dengan perut buncit dibalut kemeja putih
bergaris-garis horizontal tipis warna merah. Kemejanya terkancing sampai ke leher,
tempat ia menggantung (atau ia digantung oleh) dasinya yang bercorak batik mana
begitu… aku dan kamu tidak terlalu paham soal asal muasal batik. Lagipula siapa
yang masih peduli dengan urusan seperti itu?
Untuk menutupi hampir
sembilan puluh persen bentuk tubuhnya yang tak sedap dipandang ia membalut
semuanya dengan setelan berwarna ungu tua. Sebenarnya kamu ingin memberikan
gambarannya lebih rinci lagi, tapi kamu khawatir aku keburu bosan. Katamu “kau
mungkin akan lebih mudah mengenalinya jika aku katakan padamu satu kata kunci
dari sebuah komik dan film: Joker!”
Dengan semua hal
yang sudah kamu paparkan tadi ia tegak depan kalian. Seolah-olah dengan semua
hal yang bisa kalian lihat darinya itu ia sedang menampilkan sebuah persona
seorang proklamator atau apalah. Tapi ia lebih mirip badut jika saja ia
menambahkan beberapa solekan kecil di hidung dan matanya. Atau jika kamu
benar-benar punya waktu berimajinasi lebih, coba saja gantikan semua baju
kebadut-badutannya itu dengan seragam militer hijau lumut, lengkap dengan
topinya. Abrakadabra! Seorang saudara jauh Mussolini yang fasih berbahasa
dengan bahasamu sedang bicara omong kosong depan hidungmu.
Dengan gestur
percaya diri yang bagimu terasa seperti dibuat-buat ia memunggungi slide show
bertuliskan Urgensi Sosialogi Agama.
Oleh: Dr. Karim Hasibuan lengkap dengan gambar dirinya, pas foto dengan
latar kain merah.
Di luar semua
hal yang bisa ditertawakan darinya ada beberapa hal penting hari itu. Seseorang
yang sangat bijaksana dari jazirah kering sana pernah mengatakan: jangan kau
memandang lalu menilai seseorang dari penampilannya, pandangalah ia dari
gagasan-gagasannya.
Jika ada yang
penting dan mungkin saja akan membuat semua orang sedikit banyak bisa merasa
lebih bijaksana, biar aku kutipkan apa yang kamu tulis dari kuliah hari itu: Peristiwa pengusiran Manusia Pertama dari
surga adalah contoh bagaimna upaya-upaya mempercayai itu tidak banyak artinya,
bahkan bagiNya.
Kamu memang suka
menyingkat semuanya. Jadi biar aku terangkan saja. Manusia, kalian tahu, adalah
makhluk paling tidak bisa dipercaya nomor dua setelah ular yang meretas jalan
ke surga. Membujuk Hawa dan Adam untuk merontokkan semua kemampuan akal sehat
mereka: kau bisa bayangkan bagaimana ular licik itu hanya menanamkan ide kecil
yang mampu membuat pertimbangan sepasang manusia pertama itu melanggar
satu-satunya larangan.
Satu-satunya!
Kalian bisa bayangkan itu. Tapi siapa yang tidak ingin abadi?
Kalian mengikat
kedua tangannya ke belakang dengan selotip, agar ia tidak melakukan apapun yang
menyulitkan semua. Lalu mengikat kedua kakinya dengan satu ikatan dan
mendudukkannya di pojok. Semua kalian lakukan setelah memastikan mulutnya rapat
oleh selotip dan kedua matanya dengan dasi batik entah apa sebutannya miliknya.
Sudah lima jam
kamu berunding dengan Ian Munaya, teman baru yang mau mendengar ide-ide revolusioner
yang kamu padatkan dalam satu kalimat yang kini dapat dibaca semua orang di
bagian depan kaos kalian berdua: semua
pencerita yang buruk, mendapat balasan yang buruk.
Semua gagasan
besar memang tidak akan berjalan mulus, apalagi ketika gagasan itu menjadi
sebuah gerakan. Kalian berdua paham betul soal itu. Tapi jika kalian hanya
berdua, dan tidak bisa menentukan apa yang akan kalian lakukan setelah lima jam
nanti berlalu, nampaknya gerakan ini bakal bubar-jalan, bahkan sebelum genap 24
jam usianya.
“Kita perlu break dulu. Sidang-sidang dan
konsolidasi besar juga begitu, ada break.”
Ingatmu. Ian Munaya sepakat soal ini. Meski sebelumnya ia berusaha mati-matian
membuat 200 alasan kenapa melempar Karim Hasibuan ke lantai dasar benar-benar
ide buruk yang akan menghancurkan pergerakan mereka berdua.
“Jangankan
mengubah dunia! Bisa titip absen tanpa ketahuan saja sudah hebat!” Meski alasan
itu tampak terasa tidak nyambung untuk mencegah keinginannya melempar Karim
Hasibuan dari sana, tapi kamu tahu satu hal. Tidak boleh ada korban yang jatuh
sia-sia. Ideologi boleh terasa ganas dan panas bagai api, tapi pergerakan harus
tetap menjaga api itu agar tak membakar habis orang-orang di baliknya.
“Jangan seperti
Soe Hok Gie,” kata Ian Munaya padamu. “Dia idealis, tapi tidak taktis.” Kamu
mengerti apa maksud Ian Munaya. Tapi kamu tidak puas dengan alasannya.
“Belum lagi…
lantai tiga dan gravitasi ini tidak menjamin kematian Karim Hasibuan 100%.” Ini
alasan ke 80 Ian Munaya agar kamu mengenyahkan ide melempar Karim Hasibuan.
Kamu mulai memperhatikan Ian Munaya setelah 79 alasannya hanya seperti dengung
nyamuk di telingamu. Kali ini kamu sepakat. Ini masuk akal. Newton, kamu saintis borjuis berengsek.
Katamu dalam hati.
Karim Hasibuan
tak jadi dilempar ke bawah, meski bagimu aspal di bawah sana akan tampak bagus
dengan lumuran darah seseorang.
Dua jam setelah
kespakatan dibuat, kalian hanya duduk-duduk merokok, makan jajanan, sampai
Karim Hasibuan siuman. MUlanya kalian ikut panic begitu melihat sosok yang
kalian ikat meronta-ronta dan berusaha meloloskan suara-suara dari mulutnya.
Tidak ada yang akan tenang jika terbangun dalam kondisi begitu. Sampai kemudian
kalian tahu bahwa postur gemuk tubuhnya tak tahan dengan gerakan-gerakannya
sendiri. Tubuh Karim Hasibuan melawan kehendak pikirannya, ia kepayahan.
Kalian mulai
tenang demi melihat tubuh Karim Hasibuan kehabisan tenaga. Selanjutnya yang
kalian lakukan hanya memandanginya dengan rasa kasihan sekaligus menahan tawa.
Kamu tak bisa menyangkal bahwa setelah ia meronta-ronta dan kelelahan Karim
Hasibuan hanya bisa menangis terkencing-kencing mendapati semua gelar dokternya
tak dapat menolongnya membuka ikatan dan melepaskannya dari rasa bingung
setengah mati.
Semua perdebatan
sudah buntu bahklan sebelum Karim Hasibuan siuman. Kamu mengusulkan hal yang
paling masuk akal saat itu juga. Kalian break
dari rapat yang melelahkan itu dan memberikan Karim Hasibuan air minum setelah
ia siuman. Lalu biarkan semuanya mengalir seperti selokan-selokan di manapun
asal bukan di kota-kota jorok yang bahkan selokan-selokannya saja macet,
apalagi jalan pikiran orang-orangnya.
Karim Hasibuan meneguknya
dengan beberapa tegukan besar yang membuatnya terbatuk-batuk dan membuat dua
pertiga tegukannya menjadi sia-sia. Kemudian Ian Munaya melakukan beberapa hal.
Pertama-tama tentu saja ia mengancam atau lebih tepatnya memberitahukan dengan
lembut bahwa kalian sedang berada di tempat yang sangat jauh dari keramaian
sehingga jika ia berteriak-teriak minta tolong, ia bisa melakukannya selama 24
jam penuh, namun kami tidak akan memberikannya air minum seperti yang kami
lakukan tadi, juga tidak akan ada makanan untuknya.
Setelah Karim
Hasibuan memahami situasinya, Karim Hasibuan tahu apa yang bisa dan tak bisa
dilakukannya di depan dua maniak ini. Seperti Karim Hasibuan boleh kencing
begitu saja tenpa mencopot celananya, juga tanpa repot-repot ke kamar mandi. Ia
boleh berkubang di atas pipisnya sendiri sepeerti seekor babi. Karim Hasibuan
juga boleh meracau selama mereka mau mendengarnya. Singkatnya: semua boleh
dilakukan, kecuali semuanya. Sejenak ia tertegun dengan kesimpulannya sendiri.
Tidak sia-sia gelar doktor yang telah memimpin di depan namanya sejak dua tahun
terakhir.
“Kami menanyakan
apa yang sebenarnya membuat si pembantu dan supir Karim Hasibuan kabur dari
rumahnya. Dalam kata lain siapa
‘ular-nya’? “
“Masya allah,
sejak dua jam yang lalu kukira sedang disandera teroris atau semacamnya.”
“Bapak Karim,
maaf sudah mengecewakan anda. Tapi tolong hargai kami. Kami selalu masuk
kelasmu sejak empat semester yang lalu. Mendengar semua celotehanmu,
mengerjakan semua tugas makalah yang tak pernah kau lirik sedikitpun, namun kau
selalu punya nyali untuk membahas isinya.” sambil bilang bagitu Ian mendekati Karim
Hasibuan yang masih tertutup matanya.
Wajah Ian Munaya
menetak ke wajah Joker. Ian Munaya membayangkan dirinya adalah Batman.
Sebelumnya memang bayanganmu begitu sempurna, tapi kemudian kamu menjadi
bingung sebab Batman diperankan oleh empat orang yang berbeda dan satupun tak ada
yang mirip Ian Munaya. Suara Ian Munaya terlalu tipis dan ringan untuk ukuran
laki-laki.
Ian Munaya harusnya
malu punya suara seperti itu namun tetap meyakinkan dirinnya seperi Batman.
Yang lebih penting lagi, semua orang di kelas kami tak ada yang tak kenal Ian Munaya
dan suaranya yang kerap membuat lawan bicaranya ingin hengkang sebab tak kuat
menahan tawa dalam perutnya.
Kamu berbisik di telinga Ian Munaya agar ia
menutup hidungnya, dengan harapan Karim Hasibuan tak dapat melacak suara siapa
yang sedang menginterogasi dan membuatnya harus duduk berkubang pipis sendiri.
Ian Munaya sadar
baru saja melakukan kesalahan, setelah ini berusaha mengubah suaranya hanya
akan menjadi tindakan sia-sia. Kamu tahu Ian memikirkan itu, tapi kamu tetap
membisiki kata-kata seperti “Ian, lebih baik terlambat, daripada tidak sama
sekali.” Lalu setelah inilah kamu sadar dan menyesal menasihatinya begitu.
Nasihat yang salah tempat, kita semua tahu, sama seperti mengupil dengan jari
yang salah. Atau merancap di kamar mandi yang pintunya kerap didobrak, demi
menyalurkan hasrat jahil teman-temanmu. Atau, jika ada ibarat lain yang lebih
tepat, para pembaca boleh membuatkannya untuk kami di sini.
“Ngapakah mapak
mernah sadar ngalo ngami tida tertarik nengan cerita-cerita nyelek mapak?” Ian
meloloskan suara seekor tonggeret yang sedang sange. Kamu sebenarnya ingin
menertawakan suara Ian Munaya itu. Tapi ada yang harus kau keluarkan dari
mulutmu juga, sebuah pertanyaan bernada protes “ya menar, mapak ini semerti
melawan yak ngalucu—belum selesai semua yang di ubun-ubunmu tumpah, seolah Ian
Munaya bisa mewakilimu ia menambahkan “tami kami sengolah nenap dipaksa
tekhtawaa, kai akhh—“
Kalian putus
asa, dan Ian Munaya memutuskan untuk menghentikan apapun yang lolos dari mulut
kalian. Semua proses pengadilan yang awalnya kalian harapkan serius dan
menimbulkan perasaan tertekan luar biasa pada sang terdakwa gagal. Apa boleh
buat yang keluiar dari mulut kalian adalah sepasang tonggeret yang sedang kawin
di tengah kerumunan warga yang siap membunuh kalian dalam satu injakan. Atau
jika pengibaratan itu kurang tepat, bayangkan saja seorang pemain biola yang
kehilangan kemampuan bermainnya sebab kepalanya terbentur batu-batu di tebing
mana begitu, tapi selalu memaksakan keyakinan dan kehendaknya untuk disebut sejenius
siapalah… mungkin Mozart atau siapa.
Oh iya, kalian
seperti sebuah berkas audio yang diputar dengan percepatan tiga kali lipat dari
aslinya. Namun anehnya kalian bicara
dengan tempo yang normal. Membuktikan jika kaset itu diputar normal sekalipun
kalian tetap terdengar seperti sepasang orang tolol yang merekam percakapan
dengan bahasa dari negeri-negeri yang kerap diserang badai es. Kalian bicara
terbata-bata, dengan mulut bergetar, dan tenggorokan yang serak, sehingga siapapun
yang mendengarnya berharap sebuah angin badai besar menyeret truk tanker pengangkut
bahan bakar lalu menghempaskan tubuh kalian ke suatu bangunan, kemudian
menutupnya dengan ledakan yang sangat kencang. Badai es dengan ledakan, asap
dan api di tengah-tengahnya. Kalian bahkan tidak bisa membayangkan apa yang
tersisa dari tubuh kalian. Bergelimang dengan usus sendiri saja sudah cukup
bagus. Tapi kalian hangus.
“Kita pulang
saja?” usulmu ditelinga Ian. Yang dimintai pendapat mengangguk setuju, seperti
sejak awal sekali.
**
“Nekanang,”
suara seekor tonggeret lolos dari mulut seseorang. “Neritakan mada ngami nebuah
nerita”. Suara tonggeret yang lain mendekat, kurasakan tangan seseorang yang
kukira tangan perempuan mendekat ke pipiku. Tangan itu dengan perlahan
melepaskan selotip yang mengunci mulutku sejak aku siuman. Lalu membuka bibirku
dengan tang yang lain dan menyorongkan sedotan, aku haus sekali. Kuucapkan
terimakasih, lalu kubenahi posisi dudukku. Tidak banyak yang berubah memang,
kita semua tahu, dalam keadaan begini semuanya boleh dilakukan, kecuali
semuanya. Lalu kumulai ceritaku:
Karim Hasibuan,
pria separuh baya yang semoga saja masuk dalam daftar sepuluh orang pertama
yang nyawanya lepas dari dunia dengan cara yang buruk. Seperti kaleng penutup
botol minuman yang kau cungkil dengan paksa menggunakan salah satu sisi meja
yang curam, atau paku yang dipasang miring di sudut warung makan langgananmu.
Purwakarta,
21 September 2017
Komentar
Posting Komentar